Brilio.net - Omnibus law RUU Cipta Kerja telah resmi disahkan di rapat paripurna DPR. Kesepakatan soal RUU ini diambil dalam rapat paripurna yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Turut hadir dalam rapat Menko Perekonomian Airlanga Hartarto, Menaker Ida Fauziyah, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Menkeu Sri Mulyani, Mendagri Tito Karnavian, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, dan Menkum HAM Yasonna Laoly.

Seperti yang diketahui, RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusung Presiden dan merupakan RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.

RUU Cipta Kerja yang ditujukan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian nasional ini mendapat banyak kritik dari berbagai pihak, karena terdapat beberapa perbedaan dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Disahkannya Omnibus law RUU Cipta Kerja menarik sejumlah masa untuk turun ke jalan. Mereka menyuarakan ketidak setujuannya terhadap beberapa pasal yang dianggap kontroversi. Mereka beranggapan dengan disahkannya undang-undang ini maka akan menimbulkan kerugian bagi dari golongan masyarakat dan juga pekerja.

Dalam isi Omnibus Law RUU Cipta Kerja, terdapat empat pasal kontroversial yang dianggap bisa mengancam kesejahteraan dan kehidupan para pekerja. Berikut lansiran brilio.net dari berbagai sumber, Rabu (7/10).

1. Kontrak seumur hidup.

Pasal pertama yang menarik perhatian adalah mengenai kontrak seumur hidup. Kontrak seumur hidup dijelaskan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, melalui Pasal 61 yang mengatur bahwa perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Padahal sebelumnya tidak dimuat dalam UU Ketenagakerjaan.

Pasal tersebut menambahkan ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang memiliki hubungan kerjanya berakhir karena sudah jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.

Aturan tentang perjanjian pekerjaan inilah yang dinilai merugikan pekerja karena relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan. Seperti yang tertulis, jangka waktu kontrak berada di tangan pengusaha, yang lebih parah bisa membuat status kontrak menjadi abadi. Bahkan sewaktu-waktu pengusaha bisa mem-PHK pekerja.

2. Pemotongan waktu istirahat.

Di Pasal 79 Ayat (2) poin b RUU menyebutkan, istirahat mingguan hanya satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu, dalam Pasal 79 ayat (5) juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang nantinya akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, ataupun perjanjian kerja bersama.

3. Sistem upah.

Mengenai sistem upah, aturan ini tercantum dalam Pasal 88 B RUU Cipta Kerja yang mengatur mengenai standar pengupahan berdasarkan waktu. Aturan ini membuat masyarakat menilai bahwa perusahaan akan memperlakukan perhitungan upah per jam.

Lalu, Pasal 88 C, (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

4. Jam lembur lebih lama.

Dalam aturan omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.

Ketentuan ini dianggap lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.