Brilio.net - Tinggal menghitung hari seluruh umat Islam akan merayakan Hari Kemenangan, yaitu Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriyah. Di Indonesia banyak tradisi yang dilakukan saat Lebaran, salah satunya silaturahmi dengan halal bihalal.

Istilah halal bihalal berasal dari Bahasa Arab, namun istilah tersebut tidak bisa dipahami oleh orang Arab. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan halal bihalal hanya bisa ditemukan di Indonesia dan merupakan kreasi orang Indonesia itu sendiri. Istilah tersebut dipakai sebagai pengganti kata silaturahmi dan telah menjadi tradisi di Indonesia saat Lebaran.

Secara umum, halal bihalal merupakan kegiatan silaturahmi dan saling memaafkan. Seperti yang telah diketahui, halal bihalal ini juga merupakan risalah Islam. Memaknai halal bihalal tidak terbatas hanya pada saat Hari Raya Idul Fitri saja, namun dapat dilakukan kapan pun. Halal bihalal dimaksudkan untuk saling bermaaf-maafan atas segala dosa dan kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja.

Sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT yang tertuang dalam Alquran Surat Al-A'raf ayat 199:

<img style=

foto: merdeka.com

Artinya:

"Jadilah pemaaf dan anjurkanlah orang berbuat baik, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh."

Berdasarkan ayat di atas dapat dimaknai, meskipun amal ibadah seorang muslim sudah diterima oleh Allah SWT, namun apabila orang tersebut mempunyai kesalahan terhadap orang lain, maka Allah tidak akan memaafkan dosanya, kecuali orang lain tersebut memaafkan dosanya. Dan di hari akhirat kelak, orang yang belum sempat meminta maaf semasa hidupnya kepada yang dihinakannya itu, mereka akan membayar amal jariahnya kepada orang yang disakitinya tersebut, setimpal dengan dosanya.

Segala perbuatan baik yang diperintahkan Allah SWT tentunya terdapat keutamaan yang diperoleh setelah mengamalkannya. Begitu juga dengan halal bihalal. Kali ini brilio.net telah merangkum keutamaan beserta hukum halal bihalal menurut ajaran Islam dilansir dari laman resmi Kementrian Agama RI Kantor Wilayah Nusa Tenggara Barat pada Rabu (5/5).

Keutamaan halal bihalal dalam Islam.

<img style=

foto: freepik.com

Dosa seorang muslim hanya dapat terhapus dengan saling memaafkan antar sesamanya. Hal tentang maaf-memaafkan tersebut telah diatur dalam Islam sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran Al-A`raf ayat 199 dan hadist Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW bersabda:

"Dua orang Muslim yang bertemu, lalu keduanya saling berjabat tangan, niscaya dosa keduanya diampuni oleh Allah sebelum mereka berpisah." (HR. Abu Dawud)

Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Hakim dan Turmudzi ditegaskan bahwa golongan yang paling banyak akan masuk surga adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah dan orang-orang yang memiliki akhlak yang baik. Para ahli tafsir menyebutkan bahwa hadist tersebut menjelaskan firman Allah dalam surat Al-Qalam ayat 4 sebagai berikut:

"Kau (Muhammad) sungguh punya watak budipekerti yang mulia."

Salah seorang sahabat, Usman bin Syiraih bin Ahwash bertanya kepada Rasul tentang kriteria akhlak yang mulia. Rasulullah SAW memberikan jawabannya dengan sabdanya:

"Yakni, engkau mau memberikan kepada orang yang pernah mengharamkan pemberian untukmu. Engkau mau memaafkan orang yang pernah berlaku zalim kepadamu dan sudi mempertautkan kembali hubungan ‘silaturahmi’ dengan orang yang pernah memutuskan hubungan denganmu." (HR. Al-Hakim dan Thabrani).

"Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)." (HR Imam Ahmad dalam Al Mughni).

Dengan demikian, halal bihalal merupakan bentuk pelaksanaan dari perintah Allah dan Rasul-Nya sebagaimana telah diterangkan di atas. Halal bihalal juga merupakan sarana yang efektif untuk mempertautkan kembali silaturahmi antara sesama muslim, untuk menumbuhkan kembali solidaritas Islam sebagai salah satu ciri umat Muhammad SAW.

Tinjauan hukum halal bihalal.

Dilansir dari laman resmi NU Online, pakar tafsir Al-Qur’an Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah halal bihalal tersebut.

Pertama, dari segi hukum fiqih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal akan memberikan kesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.

Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum fiqih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Hal itu tercapai apabila kedua pihak halal bihalal, secara lapang dada saling maaf-memaafkan.

Sedangkan, menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama, walaupun jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, dan dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala.

Atas dasar pertimbangan terakhir ini, Quraish Shihab tidak memahami kata halal dalam istilah khas Indonesia itu (halal bihalal), dengan pengertian atau tinjauan hukum.

Meskipun tidak ada hukum yang melandasi hal ini, ada baiknya sebagai umat Islam saling berbuat kebaikan. Sebab, berbuat baik kepada orang lain maka sama halnya berbuat baik pada diri sendiri dan mendapat ganjaran dari Allah SWT.