Brilio.net - Siapa bilang kain tenun itu hanya untuk orang tua. Buktinya, saat ini banyak lho fashion yang dipadupadankan dengan tenun sehingga terlihat trendi.

Coba saja lihat beragam produk Toraja Melo (Toraja yang indah) mulai dari pakaian, aksesoris, gift, hingga pernak-pernik fashion.

Nggak nyangka deh kalau itu adalah produk tenun. Wajar jika saat ini banyak generasi milenial yang mengenakannya untuk kegiatan sehari-hari.

Tenun Milenial  © 2017 brilio.net foto: brilio.net/yani andryansjah

“Untuk generasi milenial itu yang penting desain,” ujar pendiri Toraja Melo Dinny Jusuf kepada brilio.net.

Nggak cuma anak muda di dalam negeri aja lho yang suka. Tenun Indonesia kini juga digemari kaum muda di sejumlah negara di dunia.

Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, Toraja Melo bekerjasama dengan angelsofimpact.com di Singapura.

Tenun Milenial  © 2017 brilio.net foto: Instagram/@torajamelo

“Mereka menjual produk kami di sana dan laku. Yang beli anak-anak milenial. Mereka memasarkan dan melakukan survei di universitas. Riset dan development yang penting,” ujar Dinny.

Oh ya, keindahan desain produk Toraja Melo itu nggak lepas dari tangan dingin Nina Jusuf, lulusan fashion design dari Academy of Art Universitas San Francisco yang juga turut mendirikan Toraja Melo.

“Kita berdua tahu gap hasil kerja komunitas dan keinginan pasar itu desain dan kualitas produk. Akhirnya kami memutuskan saya mengurus marketing, adik saya urusan desain,” papar Dinny.

Tenun Milenial  © 2017 brilio.net foto: brilio.net/yani andryansjah

Tapi, perjuangan dua kakak beradik ini bukan tanpa halangan lho. Apalagi terkait soal desain, motif, termasuk bahan baku. Maklum, sebelumnya para penenun khususnya di Toraja banyak menggunakan benang jenis polyster yang kurang disukai penggemar tenun.

Lalu, mereka berusaha untuk mendapatkan benang katun dari para pemasok di Makassar. Mereka pun mesti berhadapan dengan para mafia benang. Tapi lama kelamaan mereka mampu mendapatkan bahan baku berkualitas untuk tenun.

Disamping itu selama ini para penenun hanya mengenal empat warna yakni kuning, hitam, putih dan merah. Sementara konsumen tidak terlalu suka.

Tenun Milenial  © 2017 brilio.net foto: Instagram/@torajamelo

“Ketika kita kasih warna lain para penenun nggak mau menenun. Sementara kita tahu menenun itu adalah pekerjaan hati. Membujuk mereka untuk ikut selera pasar itu susah sekali,” ujar Dinny.

Lewat komunikasi intensif dan pembelajaran akhirnya pada 2012 para penenun mulai mau berubah hingga akhirnya menghasilkan karya-karya tenun berkualitas yang digemari pasar.

Perjuangan tak berhenti sampai di situ. Para master tenun di kampung-kampung penenun seperti di Toraja, Sulawesi Selatan dan Mamasa Sulawesi Barat sudah mulai tua. Sementara generasi penerusnya tak ada.

Tenun Milenial  © 2017 brilio.net foto: Instagram/@torajamelo

Anak-anak muda di sana lebih memilih merantau ke kota untuk bekerja. Karena itu Dinny harus ke setiap daerah turun naik gunung sendirian.

Kerja keras itu pun membuahkan hasil. Sekarang, kaum perempuan penenun sudah bisa mengantongi pendapatan rata-rata Rp 3-5 juta per bulan dari sebelumnya hanya Rp 500 ribu.

“Banyak perempuan yang tadinya jadi TKW sekarang nggak mau pergi lagi karena dari tenun mereka sudah bisa mengantongi penghasilan yang cukup,” kata Dinny yang punya pengalaman puluhan tahun sebagai bankir.

Tenun Milenial  © 2017 brilio.net foto: Instagram/@torajamelo

Tenun sekarang lebih kekinian deh.