Brilio.net - Panasnya matahari rupanya tak menurunkan semangat orang untuk beraktivitas seperti biasanya. Seperti halnya earga di sekitar Kali Code, Yogyakarta. Beberapa wanita paru baya menjemur pakaiannya di halaman.

Kehidupan di kampung kawasan Kali Code terkesan adem ayem. Rumah antar warga tidak dipisahkan dengan pagar. Bangunan rumah satu dengan yang lainnya juga tak jauh berbeda.

Namun, ada yang lain dari sebuah rumah yang berada persis di pojokan kamar mandi umum. Dari depan, tampak banyak hasil karya kerajinan berupa tas hingga kaca. Ya, tempat tersebut adalah Dluwang Art. Di sini koran bekas disulap menjadi barang yang memiliki nilai seni.

"Dulu sebenarnya iseng berlima dengan teman saya membuat usaha ini waktu kuliah. Namun karena masih dengan ego masing-masing jadinya bubar. Akhirnya tetap saya lanjutin, saya besarin, saya kerjasama dengan pengrajin di Jogja," kata Briane Novianti Syukmina, owner Dluwang Art memulai ceritanya kepada brilio.net, Kamis (8/3).

Dluwang Art © 2018 brilio.net

foto: brilio.net/Hira Hilary Aragon

Dengan ketelatenannya, rupanya hasil karya tersebut diminati banyak orang. Terlebih wanita 28 tahun itu terus berinovasi. Awalnya hanya membuat tas anyaman, kemudian berkembang membuat sandal, gantungan kunci, hingga cermin berukuran besar. Teknik yang digunakan pun tak lagi anyaman koran, melainkan dikombinasi dengan kain tenun.

Dluwang Art © 2018 brilio.net

foto: Instagram/@dluwangindonesia

"Jadi koran-korannya kami tenun (digabung dengan kain tenun di mesin), biar mempermudah proses produksi. Kalau dulu kan dianyam, produksinya lama dan makan waktu. Karena sekarang pangsa pasarnya udah ada, jadi biar prosesnya cepat kami tenun," jelas alumni UGM kelahiran 6 November 1989 tersebut.

Selain memudahkan proses produksi, teknik ini menghasilkan lembaran yang mudah dipotong dan dibentuk. Penambahkan kain tenun ini untuk mengurangi penggunaan koran yang semakin susah didapatkan.

"Koran kan memang saat ini sudah mulai susah, makanya kami menambahkan dengan karung goni, tenun. Kalau dapat korannya sendiri biasanya ambil dari perpusatakaan, atau dinas-dinas, atau suplier jualan koran kalau misalnya nggak laku, dikembalikan, nanti kami beli," tambahnya.

Lanjut dia, contohnya membuat 100 buah sandal setidaknya membutuhkan waktu dua minggu. Pasalnya melakukan linting koran memang lama dan membutuhkan ketelatenan.

"Untuk prosesnya nenun, motong sandal, mesin jahit sendiri prosesnya di Seyegan, Sleman sana. Karena kan nggak mungkin kalau nenun di sini, rumah-rumah di sini udah mepet semua," ujarnya sambil tertawa.

Dluwang Art © 2018 brilio.net

foto: Instagram/@dluwangindonesia

Rupanya usahanya dalam membuat kerajinan ini cukup memberi dampak positif untuk warga di kampunya. Dluwang Art menjadi wadah mereka untuk mendapatkan rezeki tambahan.

Setidaknya saat ini Novi sudah mempekerjakan 20 orang dari berbagai usia. Salah satu pekerja yang paling tua berusia 70 tahun. Para karyawan dibayar tergantung hasil lintingan koran.

Dluwang Art © 2018 brilio.net

foto: brilio.net/Hira Hilary Aragon

Dluwang Art juga memiliki cara modern untuk menjual produknya. Penjualan dilayani offline di salah satu mal hingga online melalui Twitter, Facebook, Instagram, dan website Dluwang Art. Harga hasil kerajinan ini juga dinilai cukup terjangkau. Ada yang dijual Rp 2.000 hingga yang termahal sekitar Rp 300.000.

Dluwang Art © 2018 brilio.net

foto: brilio.net/Hira Hilary Aragon

Kegigihan Novi menggeluti usaha kerajinan koran bekas ini menuai hasil luar biasa. Lebih membanggakannya lagi, kerajinan koran yang telah dibangun 7 tahun ini mampu menembus pasar Amerika Serikat. Bahkan perusahaan di Negera Paman Sam ini mengikat kontrak kerja sama selama 3 tahun. Selain itu produk kerajinannya juga dilirik Citibank. Bank swasta ini memborong produk Dluwang Art untuk berbagai event yang digelarnya.

"Kemarin saya habis menang entrepreneur awardnya Citibank. Jadi nanti kalau mereka ada event pasti ngambil borongan di kami," pungkasnya.