Brilio.net - Selama masa pandemi ini, bercocok tanam tampaknya sudah menjadi tren baru di kalangan masyarakat Indonesia. Sejak adanya imbauan dari pemerintah soal ‘di rumah aja’, banyak masyarakat yang memutuskan melakukan segala aktivitasnya di rumah saja. Mengingat besarnya risiko penularan di tempat keramaian.

Selama di rumah, rasa bosan dan jenuh tentulah sering kali dirasakan. Apalagi jika selama ini seseorang lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah. Hal inilah yang kemudian membuat seseorang harus pandai mengisi waktu luangnya dengan cara yang menyenangkan, salah satunya bercocok tanam.

Umumnya, aktivitas bercocok tanam dilakukan untuk mempercantik atau menata ulang rumahnya. Sementara itu, beberapa jenis tanaman memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Misalnya menjadikan udara ruangan lebih bersih, mengurangi debu, mengurangi rasa stres, serta menyegarkan mata.

Menurut Senior Business Analyst MarkPlus, Inc., Dini Bonafitria seperti dikutip dari merdeka.com, bercocok tanam seolah menjadi gaya hidup baru masyarakat di perkotaan. Kegiatan ini disebut memiliki prospek cerah dalam mendukung kegiatan pertanian.

"Urban farming yang awalnya merupakan kegiatan untuk mengisi waktu luang di masa covid-19 ini, saat ini telah diketahui oleh banyak masyarakat dan masyarakat tertarik untuk melakukan kegiatan tersebut sebagai gaya hidup baru di perkotaan yang dapat dilakukan oleh semua kalangan," ujar Dini Bonafitria.

Besarnya antusias masyarakat bercocok tanam membuat pedagang bunga dan tanaman mendapat keuntungan yang cukup besar. Bahkan bisa dikatakan, sejumlah tanaman hias mengalami kenaikan harga yang cukup fantastis. Sebut saja Janda Bolong yang dibanderol harga jutaan rupiah.

Tak hanya di kalangan masyarakat biasa, sederet nama selebriti pun ikut merasakan ketagihan bercocok tanam. Seperti Yuni Shara yang menyulap rumahnya jadi 'jungle house', Atiqah Hasiholan beberapa kali panen sayuran, dan Titi Kamal membuat suasana baru di rumahnya.

Hal ini pula yang dilakukan oleh Susi Haryanti, wanita karier yang bekerja di bagian keuangan di salah satu perusahaan periklanan di Yogyakarta. Ditemui brilio.net, pada Minggu (22/3) lalu, ia pun menceritakan mengenai hobi bercocok tanam yang digelutinya sejak lama.

<img style=

Garden yang dibuat di belakang rumah

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Susi, panggilan akrabnya, menjelaskan jika kegemarannya ini sudah dilakukannya sejak empat tahun lalu. Namun karena kesibukan bekerja dan kondisi kesehatan, ia sempat memutuskan rehat. Hingga akhirnya Januari 2020, dirinya mencoba kembali mengurus tanamannya. Uniknya, Susi lebih fokus mengurus bunga anggrek.

Saat pertama kali kembali mencoba sekitar Januari-Februari 2020, Susi melihat pertumbuhan yang bagus pada anggrek-anggreknya. Setelah perusahaannya memutuskan Work From Home (WFH) di Maret 2020, wanita kelahiran Kulonprogo ini inisiatif untuk lebih fokus mengurus tanaman.

"Sebulan paling 3 kali saya ke kantor, selebihnya 'aduh saya ngapain ya di rumah?'. Jadinya terima pesanan kue sama niat berkebun. Akhirnya banyak yang hidup. Kalau dulu kan cuma nyambi-nyambi (mengurus tanaman), jadinya cuma 50 persen rate hidupnya, kalau sekarang hampir 90 persen," ungkap Susi kepada brilio.net.

<img style=

Koleksi ribuan anggrek milik Susi

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon



Mulai serius dengan hobinya, Susi membuat gubuk khusus tanaman di belakang rumahnya yang disebut 'homey garden'. Sampai kini, Susi telah menanam empat jenis anggrek, di antaranya dendrobium, vanda, grammatophyllum, dan anggrek bulan. Terhitung ada kurang lebih 2.500 bunga anggrek yang tumbuh di dalam gubuknya tersebut.

Lebih lanjut, Susi mengungkapkan perbedaan yang dirasakannya dulu dan kini. Jika sebelum pandemi dirinya hanya bisa mengurus Sabtu-Minggu di tengah-tengah kesibukannya bekerja, saat ini, kini ia bisa mengurus setiap hari.

"(Dulu) waktunya kurang, karena kita harus berangkat kerja, pulangnya malem karena agak jauh kan. Paling Sabtu-Minggu saya kerjakannya (bercocok tanam). Nggak efektif bangetlah. Pagi paling cuma satu jam, tak jadwal seminggu 2 kali pupuk, 1 kali vitamin. Sekarang, jadi lebih intens ngurusnya. Anak-anak saya sampai protes, 'ibu kalau udah di belakang seharian betah'," ujarnya sambil tertawa.

"Waktu pandemi, sehari bisa ngurusnya 2 jam buat nyiramin sekitar pukul setengah 7 sampai setengah 8. Paling lama bisa 6 jam. Proses (menanam anggrek) ngeluarin, bersihin satu-satu, rendam fungisida, nyiapin media," jelasnya.

<img style=

Anggrek yang sedang mekar

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Jauh sebelum pandemi, dalam sebulan Susi hanya membuka 2 botol (sebutan untuk bibit anggrek yang ditanam dalam botol). Kemudian setelah pandemi, ia bisa membuka 5 botol sekaligus tiap bulannya. Sampai akhir 2020, ia sudah menargetkan total botol yang dibuka mencapai 60 botol. Dijelaskannya, dalam satu botol itu biasanya ada belasan sampai puluhan bibit anggrek.

Sebagai penggemar anggrek, wanita 47 tahun ini rela mengeluarkan kocek yang tak sedikit. Jika dihitung dari awal guna keperluan bibit, pot, dan vitamin, Susi telah mengeluarkan modal sekitar Rp 8-9 juta.

"Saya senang, jadi banyak temen. Kalau suntuk di dalem, ke sini aja. Saya betah di sini, mungkin karena ada harapan, kita liat yang ijo-ijo aja udah seneng," tutur Susi.

Kebiasaan bercocok tanam ini memberikan banyak dampak positif bagi ibu dua anak ini. Selanjutnya jika pandemi ini berakhir, Susi mengaku akan tetap menjalani hobinya tersebut, meskipun dalam kondisi dirinya tetap sibuk akan aktivitas pekerjaannya.

"Kayaknya ini menarik. Pas nanti saya memutuskan untuk berhenti bekerja, saya udah punya kegiatan di rumah. Berarti pandemi ini memang banyak hikmahnya," kata Susi sambil tersenyum.

<img style=

Bayam yang sedang panen

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Serupa dengan Susi, hobi bercocok tanam juga digeluti oleh Nurul Wahyuni Wulandari. Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Islam Indonesia ini tengah kerajinan mengurusi sejumlah tanaman. Bedanya, Nurul lebih fokus dengan tanaman hidroponik. Kegemarannya ini dimulainya sejak dua bulan terakhir, atau tepatnya September 2020.

"Awalnya aku menanam bayam dan pakcoy, cuma dua itu pakai keranjang. Sudah panen. Sekarang nanam lagi, ada selada, pakcoy, bayam lagi," kata Nurul kepada brilio.net.

Nurul mengatakan keinginan bercocok tanam bermula dari pengalaman kurang menyenangkan pernah dialaminya. Kala itu, ia pernah membeli sayur selada namun rasanya pahit. Dengan rasa penasaran, Nurul berpikir untuk mencoba menanam sendiri dengan proses hidroponik.

"Aku penasaran, kenapa selada ini pahit. Ternyata dalam sistem hidroponik, dia kebanyakan nutrisi. Kalau di tanah, dia kebanyakan pupuk, di hidroponik namanya nutrisi," jelasnya.

<img style=

Pakcoy dan selada hidroponik

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Berbekal rasa penasaran, Nurul semakin getol mengurusi tanamannya. Terlebih saat ini dirinya masih menjalani kuliah secara online, sehingga memiliki banyak waktu luang dan ingin diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Kegemaran bercocok tanam ini dilakukannya di area kos-kosan.

"Awalnya menanam bijinya, disemai, didiemin, pakai air dialasi tisu. Nggak usah dikenain sinar matahari selama 2 sampai 3 hari sampai tumbuh-tumbuh gini. Nanti baru dikenali sama matahari," papar Nurul sambil menunjukkan proses tanam bayam merahnya.

Melihat pertumbuhan tanamannya cukup pesat dan merasakan panen banyak, tentu jadi kesenangan tersendiri bagi gadis 25 tahun itu. Sejumlah barang-barang keperluan seperti bibit, vitamin, rockwool, kain flanel, dan media lainnya dibelinya secara online.

Untuk keperluannya bertanam, Nurul merogoh kocek awal sekitar Rp 80 ribu. Selama tiga bulan terakhir, perkiraan budget dikeluarkannya Rp 200 ribu. Seiring dengan berjalannya waktu, Nurul inisiatif membuat wadah mirip pot dari barang-barang bekas. Salah satunya memanfaatkan botol air mineral yang dipotong kemudian ditutup plastik hitam.

"Pertumbuhannya cepat, bayam ini sebulan. Dari tanggal 13 bulan sepuluh saya menanam bibit, sampai seperti ini (panen). Kalau kangkung lebih cepat. Selada pertumbuhannya sampai 50 hari," sambungnya.

<img style=

Bibit bayam merah dan sawi

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

 

Karena pertumbuhan tanaman dengan hidroponik terbilang cukup cepat, Nurul tidak harus setiap hari memantau tanamannya. Hanya saja ia harus terus memastikan air dalam botol tersebut selalu terisi sehingga tidak kekeringan. Bisa dikatakan, Nurul baru satu kali mengalami kegagalan panen lantaran sebuah kesibukan.

"Aku hobi melihat pertumbuhannya. Dari kecil bisa jadi besar. Ujung-ujungnya pas panen nanti aku makan," kata Nurul sambil tertawa.

Diakuinya, ketika pandemi ini berakhir, Nurul akan tetap menjalani hobinya. Ia bahkan merencanakan menanam jenis tanaman yang berbeda-beda dan memanfaatkan area rumahnya. Tak cuma menggunakan botol seperti saat di kos, namun dirinya ingin mengaplikasikan hidroponik menggunakan pipa.

"Kalau udah nggak tren lagi (bercocok tanam selama pandemi) nanti saya akan tetap nanam. Karena saya mau mencoba jual hasilnya ini. Ada pipa kalau hidroponik betulan, pengen buat kayak gitu. Ini buat awalan dulu, belajar," tutupnya.