Brilio.net - Beberapa waktu yang lalu publik sempat heboh dengan penampakan batu bersusun di Sungai Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Tak hanya satu tumpuk, batu bersusun secara vertikal ini jumlahnya mencapai 99 tumpukan. Warga setempat pun lantas mengaitkan fenomena ini ke arah hal mistis.

Padahal, batu-batu itu disusun secara manual oleh tangan manusia. Komunitas Balancing Art Indonesia (BAI), dalang di balik kehebohan tumpukan batu-batu tersebut. Komunitas ini merupakan wadah bagi orang-orang yang memiliki passion di dunia seni gravitasi.

Pada 2013 lalu Balancing Art Indonesia mulai merintis keberadaannya lewat media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Tak disangka, komunitas ini ternyata banyak juga peminatnya.

"Awalnya mengajak teman-teman dekat dulu. Ketika banyak yang lihat, itu kami ajakin (untuk bergabung). Ada sebagian yang tertarik karena uniknya, ada sebagian yang menolak karena kami dinilai kurang kerjaan," kata GT alias Wong Weng, founder Balancing Art Indonesia ketika dihubungi brilio.net lewat sambungan telepon, Rabu (7/2).

Banyak faktor-faktor yang dijadikan inspirasi oleh GT untuk berkecimpung di dunia balancing art. Salah satunya adalah memungkinkan ketidakmungkinan. Seperti yang bisa kamu lihat, memang seni menyusun batu ini terlihat ajaib karena batu besar bisa berdiri di atas batu yang lebih kecil.

Induk dari komunitas Balancing Art Indonesia ini bermarkas di Yogyakarta. Walau anggotanya tersebar di seluruh Indonesia, komunitas ini belum membuka cabang di daerah-daerah. GT mengaku ingin membesarkan komunitas induknya terlebih dahulu.

balancing art indonesia © brilio.net/muhammad bimo aprilianto

foto: dua pentolan BAI, GT & Ernest/istimewa

"Kami belum buka regional sementara, karena kan mau membesarkan komunitas (induk) ini dulu. Tapi pemain-pemainnya, anggotanya itu tersebar di seluruh Indonesia, gitu. Kami sudah persiapkan membentuk regional tapi belum sekarang, gitu," jelas pria 34 tahun ini.

Ketika dikonfirmasi, ternyata aksi heboh yang terjadi di Sukabumi tersebut merupakan kreasi salah satu anggota dari Balancing Art Indonesia. Dia juga menjelaskan teknik yang dipakai oleh anggotanya itu disebut stacking. Teknik paling dasar yang ada di seni balancing ini.

Ernest, salah satu anggotanya buka suara tentang teknik ini. Teknik stacking adalah teknik yang paling mudah dilakukan. Hanya menumpuk atau meletakkan beberapa batu di tengah.

"Kalau (stacking) itu cuma numpuk gini aja, tumpuk di tengah. Nanti variasinya bisa dikreasi, yang penting tertumpuk. Nggak perlu teknik khusus," kata Ernest ini saat ditemui brilio.net di kediamannya.

balancing art indonesia © brilio.net/muhammad bimo aprilianto foto: istimewa

Di rumah yang memiliki pohon mangga yang baru saja dibabat batang-batangnya ini ia mempraktekkan teknik stacking. Benar, sangat mudah melakukannya. Hanya tinggal tumpuk di tengah saja.

Setelah mempraktekkan teknik stacking, Ernest menunjukkan teknik lainnya. Yaitu teknik counter balance. Teknik ini satu tingkat lebih susah dari teknik dasar sebelumnya. Pria yang tinggal di Jalan Nitipuran nomor 178, Bantul, Yogyakarta ini mengungkapkan rahasia teknik ini adalah menyeimbangkan sisi kanan dan kiri dari batu tersebut.

Dengan beralaskan gelas kecil, ia mulai menyusun batu-batu yang diambil dari taman belakang rumahnya. Mulai dari batu yang besar berbentuk gepeng dan batu berukuran kecil. Ia berhasil menyeimbangkan lima batu yang disusun secara vertikal dengan batu besar lonjong di puncaknya.

balancing art indonesia © brilio.net/muhammad bimo aprilianto

foto: brilio.net/muhammad bimo aprilianto

Di kesempatan terpisah GT menjelaskan untuk menyelesaikan teknik counter balance ini memerlukan waktu sekitar 20 sampai 25 menit. Tergantung tingginya susunan yang akan dibuat.

Selain dua teknik tersebut, masih ada beberapa teknik yang lebih sulit. Di antaranya teknik rainbow dan teknik tic tac toe. Bahkan menurut Ernest, belum pernah melihat anggotanya berhasil melakukan teknik tic tac toe.

Pada dasarnya, tak ada batu khusus yang dipakai, artinya semua jenis batu bisa saja dipakai. Namun tiap tekstur batu memiliki kesulitan tersendiri. Ernest memberi contoh jika batu yang memiliki banyak pori-pori akan lebih mudah dipakai jika dibanding batu bertekstur halus.

Ibaratnya, pori-pori tersebut adalah sebuah pijakan batu di atasnya untuk bisa berdiri. Sementara batu dengan tekstur halus akan lebih sulit untuk menyeimbangkannya.

Don't judge book by it's cover. Hanya karena menumpuk batu, komunitas ini dinilai kurang kerjaan. Namun di balik semua itu ada filosofi kuat yang jadi pondasi dari kumpulan orang-orang kreatif ini.