Kecamatan Bayat di Klaten, Jawa Tengah telah lama dikenal sebagai desa gerabah. Yang unik dari gerabah ini adalah teknik pembuatannya dengan putaran (perbot) miring. Teknik turun temurun ini diperkirakan telah dimulai sejak zaman prasejarah silam. Wah menarik banget nih.

Nah, untuk itu, beberapa waktu lalu, brilio.net sempat berbincang dengan pengrajin gerabah di sana yang bernama Sukarni. Simak penuturannya mengenai gerabah Bayat yang melegenda ini.

Sejak kapan memakai teknik perbot miring?

Saya kan sejak kecil udah belajar, pakainya yang kayak gini. Sampai sekarang.

Apa bedanya perbot miring dengan perbot datar?

Nyoba yang putaran datar dibanding ini, yang datar dapat satu yang miring dapat tiga.

Gimana cara mengukur kelurusan gerabah yang dibuat dengan perbot miring?

Membuat aja pakai feeling. Mau buat apa terus saya istilahnya udah masuk di pikiran.

Apakah perbot miring juga dipakai pengrajin pria?

Bapak-bapak pakai yang datar. Itu buat yang gede-gede, gentong atau guci yang gede. Kalau saya pakai yang itu lama.

Kalau perbot miring nggak bisa bikin gerabah besar?

Segedenya seukuran kendi. Kalau yang gede banget nggak bisa.

Apakah perbot miring sejarahnya memang diciptakan untuk pengrajin wanita?

Ya para ibu-ibu. Soalnya orang dulu kan pakai kain jarit terus duduknya miring untuk menjaga kesopanan. Kalau mau mengangkang kan nggak enak, saru.

Teknik khas ini terus diturunkan kepada generasi penerus sehingga tetap lestari. Dengan teknik ini, dalam sehari penuh bisa dihasilkan lebih dari seratus gerabah berukuran kecil.