Brilio.net - Menjadi tuna rungu sejak kecil adalah takdir yang harus diterima Putri Sampaguita Santoso. Tapi Thie nggak patah semangat. Ia punya pengalaman pahit saat masih sekolah yang menjadi pelajaran berharga. Bayangkan saja, alumni Universitas Bina Nusantara (Binus) Fakultas Desain Komunikasi Visual ini sejak kecil sering di-bully teman-temannya karena keterbatasannya itu.

“Saya sering dihina, dianggap rendah. Bagi saya itu adalah bagian perjalanan hidup. Namun saya memiliki Allah Yang Maha Baik dan Penyayang yang sangat sayang kepadahamba-Nya,” sambung Thie.

Saat sekolah dasar, Thie memang sudah belajar di sekolah formal. Tapi prestasinya nggak kalah dibading teman-temannya yang normal. Kepada brilio.net, ibu Thie, Hanny, bercerita, buah hatinya itu mulai belajar di Taman Latihan Bermain (TLB) Santi Rama saat berusia 2 tahun.

Thie Santoso (Bag-2) © 2016 brilio.net

Thie bersama ibunya. (foto: Facebook @hannykusumaningtyas)

Setelah lulus TLB, kepala sekolah menyarankan agar Thie disekolahkan di sekolah dasar (SD) umum. “Saya masukkan ke SD Yasporbi. Awalnya kepala sekolah SD Yasporbi tidak mau menerima Thie karena belum pernah ada anak tuna rungu di sekolah tersebut. Tapi saya minta sekolah untuk mencoba menerima dan saya siap jika Thie akhirnya harus dikeluarkan karena tidak bisa mengikuti pelajaran. Alhamdulillah ia bisa mengikuti pelajaran,” kisah Hanny.

Belajar di sekolah umum rupanya menjadi tantangan tersendiri bagi Thie. Ya itu tadi, ia sering dibully teman-temannya. Perlakuan tidak menyenangkan ini berlangsung hingga Thie duduk di Sekolah Menengah Pertama di sekolah yang sama, SMP Yasporbi.

Malah, saat itu Thie sempat berniat bunuh diri karena saban hari ia dibully. Awalnya Thie nggak pernah mau cerita penderitaan yang ia alami. Saking nggak tahan dibully, ia sempat terpikir menghabisi hidupnya dengan gantung diri. Ia mengambil seutas tali dan dimasukkan ke lehernya.

Thie Santoso (Bag-2) © 2016 brilio.net

Thie banyak membantu tuna rungu lainnya. (foto: brilio.net/islahuddin)

Beruntung ia cepat sadar dan mengurungkan aksi nekatnya itu. Ia teringat kebesaran Ilahi. Sang ibu pun kemudian meminta Thie menunjukkan siapa teman-temannya yang telah mem-bully-nya. Tapi Thie menolak.

Akhirnya sang ibu mendatangi pihak sekolah. Setelah mengetahui teman-teman Thie yang melakukan aksi bully, ibu Thie langsung menanyakan alasan mereka mem-bully anaknya. Masalah ini kemudian diselesaikan kepala sekolah dengan melibatkan orangtua teman-teman Thie.

Sejak itu, Hanny selalu berusaha membangkitkan kepercayaan Thie. Dalam kegiatan outing kantor tempatnya bekerja misalnya, Thie sering diajak. Dia mendorong Thie ikut berbagai kegiatan.

Thie Santoso (Bag-2) © 2016 brilio.net

Thie Santoso tampil di salah satu stasiun televisi sebagai wanita inspiratif (foto: Facebook/@thiesantoso)

Dari situlah rasa percaya diri Thie tumbuh. Ia pun kerap mengikuit sejumlah perlombaan. Malah saat duduk di kelas 3 SMA Perguruan Cikini, Thie ikut lomba Tari Saman. Tari ini sebenarnya sangat mengandalkan pendengaran, tapi Thie mampu mengikutinya karena melihat gerakan teman penari lain.

“Thie itu anaknya tidak pernah diam. Selalu ada kegiatan yang dilakukannya. Saat kuliah di Binus misalnya, ia kalau tidak mengajar anak jalanan, berjualan di car free day. Hampir tidak ada waktu yang dibiarkan kosong,” ujar Hanny bangga.

Semangat yang patut ditiru nih.