Brilio.net - Seorang pianis, Aeham al-Ahmad (28), tampil memukau di hadapan penonton dalam sebuah konser di Jerman. Ia memainkan sejumlah arpeggio pada alat musik yang berkilau tersebut. Pria bernama al-Ahmad menyuguhkan sejumlah lagu tentang air yang dilantunkan dalam Bahasa Arab serta lagu tentang pegunungan di dekat ibu kota Suriah.

Demikian juga dengan lagu tentang 'mimpi yang dirampas' dari penduduknya. Ya, Aeham al-Ahmad adalah seorang pengungsi Suriah yang punya mimpi menjadi seorang pianis dengan piano kesayangannya. Namun setahun lalu, ISIS malah membakar habis piano miliknya di Damaskus.

Lantas bagaimana ia kini bisa berada di Jerman dan punya kesempatan bermain piano setelah pianonya menjadi debu? Butuh perjuangan yang harus dilalui Ahmad. Apalagi pianonya di Damaskus adalah benda yang paling Ahmad senangi dan ia hargai.

"Piano, inilah hidup saya. Ini ada di dalam hati saya," kata Ahmad seperti dikutip brilio.net dari The Local, Jumat (20/5).

Banyak kenangan yang telah ia habiskan bersama piano kesayangannya. Salah satunya adalah ketika Ahmad menggelandang piano itu ke jalan-jalan di tengah kamp pengungsi Palestina di tengah reruntuhan kota Yarmuk. Anak-anak berdiri mengelilinginya dan bernyanyi bersama tentang pengharapan di tengah peperangan, kelaparan, dan hujan bom.

Musik memang mengalir di dalam darah Ahmad. Ia mulai belajar piano saat berusia 5 tahun. Ayahnya, seorang tuna netra, adalah pemain biola sekaligus pembuat alat musik. Keduanya kemudian melakukan pertunjukan bersama dan menggelar konser di tengah-tengah reruntuhan kota Yarmuk. Tak hanya itu, Ahmad juga mengikuti kursus formal piano selama 4 tahun di sebuah universitas di Homs. Namun pendidikannya harus terhenti karena perang.

BACA JUGA: 7 Nenek 'sakti' ini bisa berusia 100 tahun lebih, rahasianya bakal bikin kamu kaget!

Hingga pada 17 April tahun lalu, ISIS memusnahkan alat musik itu menjadi debu. Tanggal itu bertepatan dengan tanggal ulang tahunnya. "Ketika ISIS membakar pianoku, aku memutuskan untuk pergi dan meninggalkan istri dan dua anakku di Suriah," katanya sambil menceritakan perjuangannya di antara kapal padat pengungsi sebelum akhirnya mencapai pantai Eropa.

Ahmad tiba di Jerman pada September 2015 bersama dengan puluhan ribu pengungsi lainnya dari Suriah. Sejak saat itu, ia tinggal di tempat penampungan pengungsi di kota Wiesbaden dekat Frankfurt bersama dengan pamannya.

"Memang tidak sempurna, tapi kami punya sebuah kamar dan orang-orang membantu kamu dengan makanan dan uang," katanya sambil tersenyum ketika menceritakan kehidupannya di Jerman.

Sebagai seorang pengungsi di Jerman, ketika Ahmad berbicara Bahasa Inggris aksen Arabnya tetap begitu kental. Tapi, ketika ia bicara tentang Jerman, ia menggunakan kata Doutschland untuk menyebut negara Jerman.

"Aku senang melakukan sesuatu untuk Doutschland karena negara ini telah melakukan banyak hal bagiku," katanya.

Sejak tiba di Jerman, ia menghadirkan hiburan kepada para penghuni pusat pencari suaka, termasuk anak-anak, melalui permainan piano yang disumbangkan oleh penyanyi pop Jerman, Herbert Groenemeyer.

"Karena Jerman adalah negara musik. Selama ini kami mendengarkan, Bechstein, Steinway. Inilah negeri pembuatan piano. Ada banyak sekali pemain piano yang bagus di Doutschland. Dulu aku berpikir, setelah selesai universitas, aku perlu ke Doutschald, ke Universitas Cologne. Itulah mimpiku, baik ada perang atau pun tidak," katanya ketika berbicara tentang mimpinya.

Kini, mimpinya untuk bisa bermain piano di Jerman tercapai sudah. Dengan bangganya, Ahmad menceritakan bahwa pernah bermain di sejumlah tempat konser di Jerman. Bahkan ia mengaku telah mendapatkan sejumlah tawaran dari Prancis, Italia, dan bahkan dari Amerika. Tapi ia dilarang meninggalkan Jerman sebelum permohonan status pengungsinya disetujui.

Sembari menunggu, Ahmad tetap bermain piano di hadapan penonton warga Jerman. Ia berharap menyurutkan ketakutan yang ada. "Banyak orang mengaitkan Suriah dengan ISIS. Tapi mereka sekarang bisa menyaksikan seorang Suriah di panggung yang menggemari Beethoven dan bisa memainkan Mozart," ujar Ahmad.

Masih menurut sumber yang sama, Ahmad mengatakan gedung-gedung pertunjukannya selalu penuh dan bahkan mendapatkan penghargaan dari kota Bonn pada Desember lalu untuk karyanya selama ini. Penghargaan yang dimaksud adalah Piagam Beethoven bagi orang-orang karena upayanya demi HAM dan kebebasan.

Namun ketika ditanyai tentang ketenarannya, pianis muda ini mengatakan, "Aku bukan seorang bintang. Aku adalah seorang pengungsi!."

Sementara ketika ditanya tentang masa depan, ia membayangkan wajah istri dan dua putranya, dengan harapan dapat membawa mereka untuk memiliki hidup yang lebih baik meski harus jauh tinggal di negeri orang.