Brilio.net - Sukses bisa datang saat usaha dan doa kamu lakukan dengan tekun. Usaha tanpa doa itu nggak maksimal, begitu juga sebaliknya doa tanpa usaha juga nggak ada artinya. Hal ini seperti yang diterapkan oleh Andi Jaelani, pemuda berusia 24 tahun asal Garut, Jawa Barat.

Masa kecil Andi bisa dibilang beda dengan teman-temannya yang lain. Ayahnya meninggal dunia saat usianya masih 1 tahun, dan pada usia 5 tahun dia harus merelakan ibunya menikah lagi. Sebagai anak kecil, saat itu Andi belum memiliki cukup "suara" untuk berpendapat di keluarganya. Hingga pada akhirnya, saat Andi masuk sekolah dasar (SD) ia memutuskan untuk tinggal dengan nenek dari pihak ibunya.

"Saat SD saya nggak dapat uang saku sepeser pun dari mama maupun dari nenek saya," ungkap pemuda kelahiran 30 Maret 1991 ini kepada brilio.net melalui sambungan bebas pulsa 0800-1-555-999, Selasa (10/11). Andi juga mengaku bahwa sang nenek saat itu hanya bisa memberinya bekal berupa satu kepal nasi setiap harinya.

Keadaan ini nggak membuat anak bungsu dari empat bersaudara menjadi minder atau malas bersekolah, malah muncul inisiatifnya untuk memelihara kambing. Setiap sore sepulang sekolah Andy pergi ke sawah untuk mencari rumput. Sampai saat Andi lulus SD kambing peliharaannya sudah beranak pinak. Namun, lagi-lagi dia harus berbesar hati saat kambing yang dia pelihara dijual untuk membelikan sepeda motor kakaknya.

Sampai lulus SMA pun Andi harus hidup prihatin. Memelihara kambing sampai jualan es buatan bibinya dia jalani untuk biaya membayar SPP dan uang sakunya sehari-hari.

Setelah lulus SMA, ia memutuskan untuk merantau ke Bandung bermodalkan Rp 50.000 yang diberikan oleh sang nenek. Apakah cukup? Nggak lah, beberapa hari di Bandung Andi sempat melamar kerja sebagai office boy (OB) di pabrik, tapi ditolak.

Karena uang udah habis, Andi memutuskan untuk pulang ke Bogor ke tempat saudaranya dan membantu berjualan es cincau. Berjualan cincau cuma dijalani Andi beberapa hari saja karena setelah itu dia mendapat pekerjaan yang lumayan bagus sebagai tenaga input data di sebuah perusahaan di Bogor. Ketika itu, tahun 2010, ia digaji Rp 2 juta per bulan, angka yang cukup besar baginya.

Sembilan bulan bekerja sebagai tenaga input data, Andi merasa bosan dan berniat membuka usaha sendiri karena pada dasarnya ia lebih senang berwirausaha daripada menjadi karyawan. Akhirnya dengan modal tabungannya selama bekerja, Andi membuka sebuah warnet.

Usaha warnet yang dia buka berjalan cukup lancar dan penghasilannya juga besar. "Sekitar Rp 300.000 per hari masuk saat itu," jelas Andi.

Andi merasa bahwa usahanya ini harus dia kembangkan, akhirnya dia memberanikan diri untuk mengajukan pinjaman ke bank dan mendapat pinjaman Rp 80 juta. Namun, rencana tinggallah rencana. Niat untuk membesarkan usaha warnetnya ini harus berakhir pahit karena uang pinjaman dari bank dilarikan oleh orang kepercayaan Andi.

Sempat stres dan putus asa, akhirnya Andi menjual ruko yang dia gunakan sebagai warnet untuk mengangsur pinjaman dari bank. Selanjutnya Andi mendaftar di sebuah perusahaan finance nasional dan ditempatkan di Kalimantan Timur. Di perusahaan finance ini, karir Andi melesat cepat hingga akhirnya dia bisa melunasi semua utangnya ke bank. Andi juga masih sempat untuk berkuliah, dengan mengambil kelas malam untuk mendukung karirnya ini.

Saat ini Andi sudah tidak lagi bekerja di perusahaan finance itu melainkan sudah memiliki perusahaan sendiri yang bergerak di bidang pengadaan barang. "Alhamdulilah dari segala lika-liku hidup saya di masa lalu akhirnya sekarang hidup saya sudah cukup mapan," tutur Andi.

Perusahaan Andi sendiri ini saat ini juga sudah memiliki dua cabang yaitu di Kutai Timur dan Makasaar dengan puluhan karyawan. Bahkan, omzet usahanya ini mencapai miliaran rupiah dengan pendapatan bersih ratusan juta rupiah. "Mimpi itu harus selalu kamu genggam, bagaimanapun anik turunan kehidupan kamu harus selalu fokus untuk menggapai cita-citamu," tutup Andi.