Brilio.net - Cak Muwafiq atau Gus Muwafiq, begitu panggilannya di kalangan organisatoris. Pintar ceramah, selalu menghibur dan yang paling penting adalah ndagel alias humoris. Dari kendagelannya tersebut, pria yang bernama asli Ahmad Muwafiq itu semakin dikenal publik dan nasihatnya diterima banyak kalangan. Kalau disuruh menyebutkan daftar kiai kondang Tanah Air, tentu saja namanya tak boleh ketinggalan.

Kiai Nahdlatul Ulama (NU) kelahiran Lamongan ini ketika ceramah mampu memaparkan banyak hal yang bahkan tidak beririsan langsung dengan dunia keislaman. Dari mulai ekonomi, sosial, politik, sampai sejarah, ia kuasai semuanya. Dalam berbagai kesempatan ceramah, dirinya memang kerap membawakan materi-materi politik dan sejarah.

Kalau umumnya kiai memberikan referensi ceramah dari kitab atau kisah riwayat, Gus Muwafiq justru membawakan referensi berupa serial-serial televisi. Malah ketika brilio.net sowan ke kediamannya di Perumahan Gondang Waras, Jombor, Yogyakarta, dirinya malah mencontohkan kisah-kisah selebriti Tanah Air. Ternyata, kiai nyentrik satu ini juga mengikuti infotainment juga.

Gus Muwafiq © 2020 brilio.net

foto: Brilio.net/Farika Maula



Untuk yang belum tahu siapa itu Gus Muwafiq, mungkin yang harus diingat adalah ciri khasnya. Berbeda dengan ulama lain yang memilih surban atau peci menjadi identitasnya, Gus Muwafiq mudah dihafal karena berambut gondrong dan bersuara lantang.

Gus Muwafiq dikenal sebagai seorang orator sejak menjadi aktivis mahasiswa saat kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puncaknya, saat ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara.

Saat ini Gus Muwafiq mengasuh beberapa santri di rumahnya. Meskipun jadwal pengajian yang harus dihadiri sangat padat, namun Gus Muwafiq tetap berusaha mengasuh santri-santrinya dalam konteks kehidupan pesantren.

Gus Muwafiq © 2020 brilio.net

foto: Instagram/@gusmuwafiqchannel



Keluasan pengetahuan yang dimiliki oleh Gus Muwafiq memang sudah sejak lama menjadi rahasia umum bagi banyak orang yang mengidolakannya. Sosok yang dulu pernah menjadi asisten pribadi Gus Dur saat masih menjabat sebagai presiden ini memang dikenal sangat doyan membaca. Tak heran, jika banyak orang yang kepingin sowan ke Jombor.

Bahkan, ada yang rela menunggu sampai tengah malam untuk bertemu dengan Gus Muwafiq. Pada saat diwawancara, kiai berusia 56 tahun ini lebih suka ditanya wartawan ketimbang harus bercerita panjang.

Pertanyaan yang disodorkan dimulai dari aktivitas selama pandemi hingga keromantisan bersama istri. Berikut rangkuman tanya jawab brilio.net dengan Gus Muwafiq.

Selama pandemi ini bagaimana aktivitas Gus Muwafiq dan santri?

Ya saya tetap ngaji di rumah. Saya selalu katakan kepada santri, tetap pakai masker, jaga jarak, cuci tangan dan meningkatkan imunitas. Sampeyan juga lihat saya di rumah tidak bisa lockdown. Tamu dari mana-mana selalu datang 24 jam. Lha semua takut (Covid-19) terus pada minta doa. Ada yang bisa kerja, nggak bisa makan. Lha mereka itu katanya imunnya naik karena ketemu saya. Pada senang kalau ketemu saya.

Saya katakan, adanya pandemi bukan berarti kita menutup diri untuk beraktivitas. Ya kita seperti biasa aja, tetap mengaji.

Bagaimana peran kiai untuk ikut mengontrol sosial di masyarakat saat pandemi ini?

Ulama itu nggak ngerti penyakit (Covid-19) itu seperti apa. Kita itu tahu karena sudah dikasih tahu. Kita menyikapi situasinya, bukan pada penyakitnya. Yang kita tahu bagaimana cara mengontrol sosialnya. Kebetulan di zaman Rasul ada wabah seperti itu.

Ya kita tetap ikut pemerintah. Seperti apa penanganannya, tetap pakai masker, jaga jarak, cuci tangan dan meningkatkan imunitas, ya gitu. Kalau suruh komentar saya nggak bisa, wong saya bukan dokter. Nah, kebetulan penyakit ini terus berjalan sampai bulan Ramadan akhir sehingga mudik dilarang.

Kiai ikut negara, kalau tentang penyakit ini. Sesuai dengan mekanisme medis yang mana ini bisa mencegah penularan virus. Dengan beraktivitas dengan tidak melupakan protokol kesehatan.

Terlepas dari urusan pandemi nih Gus, apa sampai sekarang Gus Muwafiq masih dapat hinaan atau ancaman terkait ceramah yang disampaikan?

Itu nggak saya pikirkan. Nggak ada perasaan takut untuk diancam. Sebelum saya kena kasus dituduh menghina Rasulullah, ancaman itu sudah dari mana-mana. Tapi itu sesuatu yang lumrah, dan itu kan cuma berasal dari medsos. Dunia sekarang seperti itu nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Ketika kita hidup di dunia yang model begini, kenapa takut? Orang kalau dikecam itu tandanya sukses. Kalau nggak ada yang ngecam malah gagal. Itu bahasa kucluknya. Kalau ngurusin kecaman nggak ada habisnya.  

Gus Muwafiq tahu nggak, kalau viral karena ceramah-ceramahnya?

Ya sebelumnya tuh saya udah mengaji, saya udah viral sebelum viral. Saya saat berorganisasi itu udah ngaji. Dulu ke kampung-kampung, belum main YouTube. Bukan viral baru-baru ini, saya dulu ngaji setiap hari mulai dari tahun 1995 udah antar provinsi. Saya itu itu ceramah nggak cuma hitam di atas putih. Tapi bagaimana cara menjadi manusia yang baik untuk sesamanya. Membangun kehidupan yang layak bersama-sama itu seperti apa.

Apalagi sudah menyangkut bangsa dan negara. Karena bangsa dan negara ini jaminan kehidupan manusia. Jadi manusia yang baik karena mendapatkan agama. Jadi agama yang membuat manusia semakin sempurna. Nah, kesempurnaan agama itu akan hilang, jika tidak ada jaminan akan keamanan negara. Maka keamanan bangsa dan negara itu ditaruh di awal.

Jadi, manusia itu, baik agama itu baik bisa terjamin kebaikannya kalau bangsa negaranya aman. Timur Tengah itu agamanya baik manusianya baik, tapi rusak. Karena tidak ada jaminan keamanan negaranya. Maka jangan sekali-kali ganggu keamanan negara. Orang boleh berpendapat tapi keamanan bangsa dan negara melebihi segalanya.

Gus Muwafiq ini kan asal Lamongan, masuk Pondok Pesantren di Jombang, kenapa sekarang bisa tinggal di Jogja?

Lho, lha ini itu karena saya punya kisah cinta. Saya nggak kepikiran mau pindah ke Jogja. Kebetulan cintanya di Jogja, punya anak di Jogja ya udah ngalir aja. Kuliah di Jogja, berorganisasi di Jogja, ya akhirnya mengabdi di Jogja. Orang tua saya sebenarnya nyuruh saya untuk di rumah. Ya tapi saya memilih untuk hijrah ke Jogja.

Gus, para kiai di Jogja punya grup WhatsApp nggak sih? Apa saling update satu sama lain?

Ada, tapi saya nggak sempat WhatsApp-an. Saya grupnya itu banyak, tapi nggak keurus. Saking sibuknya ngurus jamaah, banyak tamu. Lha ini sampai jam berapa nanti. Jadi ada grup WhatsApp, tapi kan saya nggak sempat buka.  

Gus Muwafiq katanya suka sama ceramah Cak Nun dan sempat ikut Maiyahan (forum pengajian sinau bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng)? Pernah nggak satu forum sama Cak Nun?

Belum ya. Ya gimana ya, umat di dunia ini kan beragam dan macam-macam. Kalau cuma dirangkul satu orang, ya nggak bisa. Lha Cak Nun punya dunianya, ada jamaah yang dipikul sama Cak Nun. Ada yang bisa dipikul sama Gus Miftah. Ada yang bisa dipikul sama saya. Jadi dunia ini berisi dengan manusia dan manusianya dinamikanya berbeda-beda. Yang penting semua diarahkan menuju Allah. Biarin aja ada acara Cak Nun dengan Maiyah-nya. Ada juga yang cocok sama ceramahnya almarhum Ki Seno.

Bagaimana tanggapan Gus Muwafiq tentang ustaz karbitan yang referensinya Google?

Saya ini punya pengalaman. Ada jamaah pengajian ibu-ibu, manggil ustaz bawa laptop. Ternyata listriknya mati, ya nggak jadi ngaji. Itu sudah 7 tahun yang lalu. Saya kaget. Nah, ini sebenarnya pentingnya nyantri di pesantren. Mereka benar-benar mengusai agama dari kitab, jadi kalau suruh ngaji bisa. Bukan cuma ngomong hitam di atas putih saja. Lha kebanyakan mereka (ustaz karbitan) sudah merasa modern, jadi kalau suruh baca nggak mau. Lha ini kan jadi pasar gelap agama. Semua kebutuhan spiritual umat nggak tercukupi.

Kalau ngomongin ustaz modern, di Jogja ada salah satu kiai nyentrik juga, Gus Fuad Plered. Cara ceramahnya pakai lagu dengan muatan sholawat tapi genre pop sampai rock. Gimana menurut pendapat Gus Muwafiq?

Saya kenal itu. Yang ngelukis juga itu kan? Saya sebenarnya nggak ngerti patokan sholawat itu seperti apa. Tapi saya punya cerita dari Nyai Nuriyah. Anak-anak santri putrinya itu pernah mukul-mukul tembok, mukul ember pada sholawatan. Nah, Nyai Nuriyah ini emosi. Masak santri putri klotekan kayak begitu? Nyai Nuriyah langsung keluar bawa sapu. Lha, tapi itu salah satu bentuk ekspresi kecintaan umat kepada Rasul. Caranya memang berbeda-beda. Karena sholawat ini membangun cinta kepada Rasul.

Nah, ekspresi cinta ini nggak bisa diukur. Bagi orang pendiam, cinta itu cukup melirik. Tapi bagi orang yang ekspresif, cinta itu dicium sampai bunyi 'muach'. Bagi orang yang banyak duit, cinta itu dikasih oleh-oleh. Kiai Fuad kayak gitu saya nggak bisa komentar, wong ini bab mahabbah. Ada yang pakai gitar, ada yang pakai mulut.

Terkait penampilan Gus Muwafiq dengan rambut gondrong, pernah dapat komentar pedas nggak dari netizen? Bagaimana juga dengan pendapat istri soal rambut gondrong?

Istriku beliin baju, ya ku pakai. Beliin kaus, ya ku pakai. Beliin peci, ya ku pakai. Kalau udah aku pakai, udah, nggak komentar. Rambut ini itu kalau dipotong saya meriang, waktu kecil begitu. Banyak yang bilang ulama kok gondrong. Lha kalau rambut pendek kan tradisinya Belanda. Nenek moyang kita itu rambutnya panjang semua.

Yang harus pendek itu priyayi. Pejabat negara itu harus pendek klimis. Kalau jadi menteri pun saya akan tetap seperti ini. Makanya nggak ada yang nyuruh saya jadi menteri. Mereka penampilannya harus dijaga, banyak urusan. Lha kalau saya urusannya apa? Orang datang ke tempat saya bukan karena penampilan saya. Saya menikmati ini semua, jadi tidak terjebak penampilan. Saya itu matching nggak ngerti. Teorinya nggak tahu, jadi ya udah manut istri aja.