Brilio.net - Wajahnya tampak lusuh, terlihat sekali Kakek tua ini kelelahan, meskipun begitu dia tetap memberikan senyum. Sinai Nasrul (74 ) itulah nama si kakek yang bekerja sebagai juru foto keliling. Dia sering menawarkan jasanya pada pengunjung di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta Selatan. Selain itu, Kakek Sinai ternyata sosok yang pejuang di zaman penjajahan.

Begitulah kisah singkat Dian Riski Rosmayanti netizen yang menuliskan kisahnya bertemu Kakek Sinai dalam akun facebooknya. Pertemuan Dina berawal saat Kakek Sinai mendatanginya dengan kamera DSLR sambil menawarkan jasa foto di Pasar Festival. Kakek Sinai menawarkan foto ukuran 12R seharga Rp 20.000 per lembar.

“Saat saya tanya, kamera yang digunakannya untuk mencari nafkah itu didapatnya dari seorang kerabat. Ketika menawarkan jasa fotonya itu dia menjanjikan foto akan selesai dalam waktu lima hari. Untuk mengambil foto, akan diberikan ditempat kami bertemu pertama kali,” ujar Dian.

 Dalam pertemuannya itu, Dian menyempatkan waktu untuk ngobrol mengenai keseharian si kakek. Ternyata, Kakek Sinai hidup sebatang kara di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Setiap hari Kakek Sinai menjajakan jasanya di Pasar Festival, Kuningan. Tak sedikit orang yang memandangnya sebelah mata, takut ditipu. Banyak yang mengacuhkannya serta menolak secara halus untuk di foto. Padahal pria kelahiran Solok, Padang, Sumatra Barat ini hanya mengandalkan kamera itu untuk menyambung hidup.

 “Dia cerita, dalam sehari belum tentu ada yang mau di foto. Terkadang cuma satu pelanggan, dan paling banyak empat pelanggan. Aku iba memandang kakek ini bertahan hidup sendiri di tengah kerasnya ibu kota, di tengah kemajuan teknologi yang mungkin tidak disadarinya,” kisah Dina.

Di tengah percakapan, Dina melihat ada lebih dari 10 foto. Kata Kakek Sinai, semua foto itu milik pelanggan yang tak kunjung diambil padahal mereka sudah membayar uang jasa foto. Kesepuluh foto itu menambah foto-foto yang tidak diambil menjadi 2.000 lembar yang dia bawa setiap hari. Kakek Sinai berharap bisa bertemu dengan lagi dengan pelanggannya dan memberikan hasil jepretannya itu.

“Tubuh sudah tua, tapi otak tidak boleh mati. Harus terus berjalan mencari rezeki untuk hidup,” tutur Kakek Sinai.

Sepanjang malam itu, Dina dan Kakek Sinai saling bercengkrama. Tapi Kakek Sinai sama sekali tidak menawarkan jasa fotonya.  Kakek Sinai hanya bercerita mengenai pengalamannya di tangkap penjajah yang saat itu masih menguasai tanah Minang. Dia mengaku pernah ditangkap dan dipenjara, kemudian disidang dan diasingkan ke Jakarta.

“Mungkin tak banyak orang yang mau ngobrol dengan kakek ini. Dia sebenarnya suka bercerita dan bertukar pengalaman, tapi mungkin tak ada yang mau mendengar. Kepadaku dia bercerita dengan antusias, sering kali dia tertawa ketika ku ajak bergurau,” tambah Dina.

Setelah lama bercengkrama, tak lama Kakek Sinai pamit pulang, karena kakinya yang sudah tidak mampu lagi berjalan jauh. Di waktu bersamaan Dina meminta foto bersama. Mengejutkan, Kakek Sinai senang dan merasa foto yang diambil dari kamera telepon genggam milik teman Dina sangat bagus. “Besok saya ke sini lagi, mau cari yang mau di foto,” kata dia lirih.

Dalam tulisan di akun facebooknya, Dina berharap siapapun yang bertemu dengan Kakek Sinai dan ditawari untuk difoto jangan di tolak. “Semoga di dunia ini masih ada yang memiliki hati, mau sedikitnya membantu kakek ini. Jika bertemu dan ditawari untuk difoto janganlah ditolak dan temuilah kakek ini di tempat dan waktu yang dijanjikan, karena dia selalu menepati janji dan membawa foto-foto pelanggannya untuk diberikan. Dia tak mau mengingkari janji, karena itu foto pelanggannya selalu dibawa karena takut ada yang menagih,” tambah Dina.

Kakek Sinai memang harus terus berjuang. Jika dulu dia berjuang melawan penjajah, kini dia mesti berjuang mempertahankan hidupnya di negara yang katanya telah merdeka ini.