Brilio.net - Rumah Tahanan Klas I Cipinang mendadak menjadi ramai oleh hiruk pikuk warga yang datang untuk memberi dukungan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Suara warga yang terus berteriak hingga Rabu (10/5) dini hari menembus dinding tebal rutan yang berdiri di atas tanah seluas 25.757 meter tersebut.

Berbicara soal rumah tahanan, ada sosok Purwo Ardoko yang merupakan aktor penting di balik berdirinya penjara-penjara modern di Indonesia. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, ini sudah malang melintang mengarsiteki pembangunan rutan.

Dikutip brilio.net dari laman resmi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Rabu (10/5), karier Purwo dimulai tahun 1986. Saat itu menjadi tenaga ahli independen di salah satu konsultan mengerjakan draft untuk Lapas Wanita Tangerang.

Ayah tiga anak tersebut sempat menjadi pegawai honorer di Departemen PU (Pekerjaan Umum) hingga 1990. Krisis moneter yang melibas Indonesia pada 1998 juga sempat membuatnya menjadi penjual semir rambut.

arsitek cerdas di balik kokohnya penjara modern © 2017 facebook/@purwo.ardoko

foto: Facebook/@purwo.ardoko

Barulah pada 1999 dia mendapatkan tawaran dari seorang teman untuk pembangunan penjara modern. "Kata teman saya, Departemen Kehakiman butuh sketsa untuk penjara modern," paparnya.

Mula-mula dia mempelajari visi dan misi Departemen Kehakiman soal lapas dan rutan. Lalu melakukan survei lapangan. Dia juga sempat ikut merasakan menjadi napi di Cipinang.

"Saya nginap tiga hari di Cipinang, ikut jadi napi," tutur alumni Teknik Sipil ITS tersebut.

Di penjara itu dia memperhatikan kultur dan kebiasaan penghuninya, warga binaan maupun petugas. Purwo juga tahu bagaimana tahanan ditawari kamar-kamar yang bagus asal ada uang.

Di lapas dia menemukan cara hidup berkelompok atau geng-gengan. Karena Purwo asal Jombang, dia 'dikuasai' geng Surabaya. Selama tiga hari itu Purwo harus merogoh kocek Rp 75 ribu untuk diberikan kepada kepala geng.

"Saya tidak dapat alas tidur. Alasnya dari koran, itu pun beli. Bantalnya dari baju dilipat-lipat," lanjutnya.

Selain survei ke Cipinang, pria 48 tahun itu juga minta waktu untuk mendalami Rutan Salemba dan Lapas Sukamiskin, Bandung. Purwo juga mempelajari sejumlah penjara di luar negeri seperti Malaysia, Hongkong, Singapura, China, dan Thailand.

Menurutnya, penjara di Indonesia masih kalah untuk urusan fasilitas dan jumlah pegawai namun masih menang dalam urusan sistem.

Lewat panduan buku Building Type Basics for Justice Facilities, Purwo lantas memulai menyusun plan untuk penjara di Indonesia. Prinsipnya, biaya murah, pemeliharaan dan pengoperasian juga mudah.

Yang pertama digarap adalah Lapas Narkotika Cipinang. Pembangunannya memakan waktu 2,5 tahun dan peresmiannya dilakukan pada 2003 oleh Megawati, presiden kala itu.

Perencanaan penjara tersebut mengacu pada Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners yang sudah menjadi bagian dari resolusi PBB tahun 1977. Beberapa faktor yang diperhatikan dalam perencanaan adalah ukuran ruang, cahaya, dan sanitasi.

Purwo mencontohkan ketentuan minimal ukuran adalah 5,4 meter persegi per orang sebagai ruang gerak. Mulai tidur, bangun, dan beraktivitas.

"Ruang gerak ini memang terbatas. Sebab, sebagai tahanan, ada sebagian haknya yang dirampas. Misalnya, bertemu keluarga yang tidak dilakukan di situ," katanya.

Tinggi minimal 4 meter memungkinkan penghuni untuk memperoleh sirkulasi udara cukup. Kemudian, bukaan atau ventilasi sebesar 20 persen dari luas permukaan.

Untuk sanitasi, disediakan kloset plus bak kecil untuk keperluan di malam hari. Dindingnya di lapis dengan cat antikimia dan antijamur untuk menghindari bahan-bahan sulfat yang bisa mengakibatkan tergerus.

Dinding terluar dibuat tahan benturan dengan kekuatan 2 ton per titik. Dinding tersebut dibuat dari beton bertulang yang dicor dengan ketebalan 20 sentimeter. Bahan-bahannya trouble free. Jerujinya besi pilihan, diameter 20 milimeter.

"Diperlukan 10 orang untuk menghancurkan dinding dan butuh waktu satu jam tanpa berhenti untuk menggergaji jerujinya," paparnya.

Faktor keamanan menjadi bagian penting dalam pembangunan lapas. Faktor itu meliputi pagar pengaman, pos pengamanan, menara, ruang kontrol, penataan pintu, dan penghambatan akses antar ruang.

Kemudian, steril area serta meminimalkan upaya pelarian. Pagar pengamannya dibuat empat lapis di luar gedung. Dengan aristektur semacam itu, kata Purwo, jika ada tahanan yang berhasil kabur, bisa dipastikan ada kerja sama dengan petugas.

"Kabur bukan karena bangunannya, tapi karena sistem atau petugas yang tidak disiplin," ujar Purwo.

Sebagai arsitek, Purwo tidak banyak berkreasi dalam membangun lapas. Namun, dia bisa memasukkan unsur estetika melalui permainan jarak, skala, warna, dan tekstur.

"Kalau bentuknya, nggak bisa main (berkreasi) karena simpel," tandasnya.