Brilio.net - Tak dipungkiri perbedaan agama masih menjadi salah satu penghalang pasangan di Indonesia. Kendati demikian ada saja pasangan suami istri yang harmonis meski berbeda agama. Mereka tetap bisa bersama dan menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri.

BACA JUGA: Gadis penyandang autis ini belajar bicara dari seekor kucing

Menjalani kehidupan beda agama bagi suami-istri tentu bukan hal yang gampang. Ada banyak lika-liku kehidupan yang harus dihadapi. Kehidupan tentang keluarga beda agama coba ditulis oleh Danial Sutami. Melalui akun Facebooknya pada Minggu (13/3), ia membagikan kisahnya yang diasuh oleh orangtua beda keyakinan. Sang ibu adalah pemeluk Kristen, sedangkan sang ayah beragama Islam. Danial sendiri merupakan seorang muslim.

Kisah yang bikin terenyuh itu pun banyak dibagikan dan mendapat berbagai komentar dari para netizen. Berikut kisah keluarga beda agama yang dikisahkan Danial Sutami yang dikutip brilio.net

"Orangtua saya beda agama sejak saya kecil. Mungkin sudah tidak terhitung cemoohan baik dari keluarga besar dan lingkungan (yang Muslim) terhadap kami. Pendidikan dasar saya lalui di sekolah Islam, yang memang pada akhirnya mengikis dual identitas religius saya di masa kanak-kanak, dan memilih Islam sebagai agama saya. Namun tetap saja keberadaan Ibu saya yang Nasrani tampak tetap dianggap sebagai cela dimata keluarga dan lingkungan.

Keislaman kami diragukan karena masih ada anggota keluarga yang kafir.

Pada akhirnya saya berdiri berseberangan dengan Ibu saya yang Nasrani. Di usia dewasa awal, ketika sedang panas-panasnya beragama, saya pernah mengintimidasi Ibu saya, sekiranya beliau tidak mau masuk Islam, darah beliau halal bagi saya.

Ah tidak terhitung betapa besarnya dosa saya terhadap Ibu saya yang 'kafir' itu. Padahal tidak pernah sedikitpun beliau berusaha meng-Kristen-kan saya.

Beliau bisa saja memilih untuk tidak mengasihi saya dengan sepenuh hatinya lagi sejak saya menegaskan padanya untuk tidak lagi ikut pergi ke gereja di usia 9 tahun.

Sekiranya beliau mengedepankan keyakinannya di atas perannya sebagai seorang Ibu. Mungkin saya tidak akan jadi apa-apa hari ini.

Beliau bisa saja menelantarkan saya, tidak menghiraukan pendidikan, tidak menyiapkan makanan lezat yang siap terhidang di meja setiap kali pulang sekolah (membuat saya rindu untuk langsung pulang ke rumah ketimbang nongkrong di warkop sambil merokok dan main gitar seperti teman-teman saya), menolak bangun dini hari untuk mempersiapkan sahur bagi kami di bulan Ramadhan, bahkan tidak akan rela begadang demi mempersiapkan hidangan menjelang Idul Fitri yang jumlahnya sangat banyak.

Sebaliknya. Beliau memilih mengesampingkan perbedaan, dan tetap melayani suami dan anak-anaknya dengan sepenuh hati. Meskipun sering di selal-sela waktunya, di balik ketegarannya sebagai minoritas di keluarga dan gencarnya penolakan keluarga besar, ia pun menangis berdoa pada Tuhannya. Belakangan saya ketahui itulah sumber kekuatannya.

Ad dhua silahul mu'min. Doa adalah senjata orang beriman. Prinsip yang sama pada tiap agama.

Ketika Ayah sakit stroke tekanan keluarga besar semakin menjadi-jadi. Mereka datang ke rumah hendak mengusir Ibu saya karena statusnya sebagai kafir, tidak layak mendapatkan bagian sedikitpun dari harta warisan. Padahal selama Ayah saya stroke, tidak sedetikpun mereka ikut merawat dan merasakan letihnya.

Dan masalah ini terus berlanjut sampai pada saat Ayah saya wafat. Adik saya yang pada akhirnya mengikuti keyakinan Ibu saya dilarang oleh keluarga besar untuk ikut memandikan jenazah Ayah saya.

Bagaimana orang (baca: Ibu saya) bisa tertarik masuk Islam dengan sederet perlakuan itu??

Pengalaman ini yang mengubah paradigma saya tentang Islam. Saya begitu mencintai Islam sehingga saya menolak untuk dibodoh-bodohi oleh mereka yang mempromosikan kebencian atas nama Islam untuk mendiskriminasi agama lain.

Islam memiliki dua wajah (seperti yang ditulis Stephen Sulaiman Schwartz dalam bukunya, "Dua Wajah Islam").

Satu wajah pemarah, satu lagi wajah yang ramah.

Muslim yang pemarah, akan sibuk mengedepankan keyakinan kafir seseorang dan mengabaikan kualitas dan ketulusan mereka dalam melayani sesama. Seperti perlakuan keluarga besar terhadap Ibu saya.

Saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Saya rindu menampilkan Islam yang ramah dan menjadi rahmah...

Namun tampaknya itu bukan perjalanan yang mudah, karena membenci kafir lebih mudah daripada menyayanginya."