Brilio.net - Apa yang dilakukan oleh para ibu di Pasar Beringharjo, Jogja ini sungguh tak akan kamu bayangkan. Betapa tidak, di usia tua mereka masih harus bekerja dengan mengandalkan fisik. Setiap hari, ibu-ibu yang dikenal sebagai buruh gendong ini berjalan membawa barang dagangan para pedagang pasar demi beberapa lembar rupiah. Meski demikian, mereka ikhlas menjalani profesi tersebut.

Salah satu perempuan buruh gendong itu bernama Sugiarti. Perempuan berusia 53 tahun ini berasal dari Kabupaten Kulon Progo, DIY. Kesehariannya sangat keras jika dibandingkan dengan umurnya yang telah lanjut. “Bangunnya jam tiga pagi. Pulangnya nanti setengah lima sore,” katanya kepada brilio.net. Buruh gendong sudah dilakoni Sugiarti sejak usia belia.

Ibu Sugiarti berangkat dari Kulon Progo dengan berjalan kaki. Itu dilakukannya tiap hari. Butuh waktu satu jam hingga akhirnya dia sampai ke Pasar Beringharjo. Ia sengaja berjalan untuk melatih kekuatan kaki sekaligus berolahraga. Maklum, fisiknya lah yang menjadi sumber rejeki tiap harinya. Kalau sakit, tentu tidak akan bisa berangkat ke pasar.

 

v © 2017 brilio.net
foto: brilio.net


Sesampai di pasar, pekerjaannya sehari-hari memanggul barang dagangan dari parkiran ke toko masing-masing penjual yang order. Rata-rata sekali manggul bisa membawa beban 20-50 kg. Bahkan, ada yang beratnya mencapai 70 hingga 60 kg. Dengan berat sebanyak itu, ia masih harus menaiki tangga menuju lantai dua. “Nggak terbayang beratnya pekerjaan seorang buruh gendong,” katanya.

Memang, di Pasar Beringharjo, buruh gendong tidak hanya perempuan melainkan juga ada buruh panggul laki-laki. Biasanya buruh panggul laki-laki melayani penjual di lantai tiga. Sementara lantai satu dan dua dilayani oleh buruh panggul perempuan. Ibu Sugiarti termasuk ke kelompok lantai dua.

Bekerja sebagai buruh gendong memang tak banyak menghasilkan uang. Ketika ditanya jumlah pastinya, Ibu Sugiarti cuma membalas "Nggak pasti. Orang itu ada yang ikhlasnya sedikit, ada yang ikhlasnya banyak,” katanya. Memang tidak ada tarif pasti kuli panggul, semua tergantung pada seberapa murah hati penjual yang menggunakan jasa mereka. Rata-rata Rp 10.000.

Selain Ibu Sugiarti, perempuan buruh gendong juga memberi kisah yang hampir sama. Perempuan itu biasa disapa dengan nama Eyang, karena memang sudah sepuh yakni berusia 63 tahun. Berbeda dengan Ibu Sugiarti yang telah bekerja sejak belia, Eyang baru bekerja pada usia 40-an.

Ia kemudian menceritakan singkat kisah hidupnya. Sebelum menjadi buruh gendong, Eyang merupakan seorang petani. “Karena mendesak, banyak kebutuhan, tapi nggak punya uang. Petani nanam-nanam nggak ada hasil. Nekat saja ini jadi buruh gendong,” katanya.

 

v © 2017 brilio.net
Foto: Pasar Beringharjo Jogja/brilio.net


Eyang membandingkan kehidupannya dulu sebagai petani dan kini sebagai buruh gendong. Dulu, sebagai petani menanam padi menunggu sampai 100 hari baru bisa panen,” katanya. Dan lantaran bingung nggak ada dikerjakan, maka ia nekat ke Pasar Bringharjo mencari makan.

Lain cerita yang dituturkan Bu Sukinem. Perempuan usia lanjut ini sangat senang jika menjelang lebaran tiba. Ia menggambarkan momen menjelang lebaran, di depan Pasar Beringharjo akan banyak orang berlarian. Riuh sekali. “Mereka buruh gendong semua. Mencari rejeki,” tuturnya.

Menjelang lebaran, para kuli panggul banyak ketiban rejeki, lantaran banyak perusahaan atau lembaga pemerintah yang bagi-bagi sembako. Macam-macam barangnya, mulai sirup, roti kaleng, gula, beras, teh, kecap dan sebagainya.

Namun, tetap saja ada hal yang kurang menyenangkan saat bekerja, yakni ketika gendongan terjatuh lalu rusak. Meski biasanya para pelanggan tidak akan meminta ganti rugi tapi hal ini tentu mereka hindari sebisa mungkin. Baginya menjalani pekerjaanya harus ikhlas.

Reporter: Noval Rumangun