Brilio.net - Pandemi Covid-19 mengubah kehidupan masyarakat hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dampak Covid-19 membuat banyak orang terpaksa harus dirumahkan atau bahkan menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Hal itu membuat masyarakat harus mencari cara untuk tetap bisa bertahan hidup. Seperti yang dirasakan seorang fotografer olahraga yang terpaksa harus gigit jari selama masa pandemi. Sebut saja Cahyo Agung Nugroho yang hari-harinya banyak mengandalkan event olahraga namun terhenti karena pandemi Covid-19.

Cahyo menceritakan bahwa selama pandemi, ia tak memiliki pemasukan dari memotret. Ia pun melihat tren selama pandemi ini masyarakat jadi suka bersepeda. Akhirnya pada September lalu, ia mendatangi spot-spot lintasan para pesepeda, seperti Bintaro Loop dan Mozia Loop di BSD.

"Aku mulai nongkrong di tempat-tempat orang sepedaan, terus kita motret dan mulai jualan foto," ujar Cahyo saat ditemui Brilio.net baru-baru ini.

Fotografer di jembatan kuningan © 2020 brilio.net

foto: Instagram/@cnugroho

Melihat adanya peluang untuk motret para pesepeda, akhirnya ia bergeser mencari spot yang dekat dengan daerah rumahnya di Mampang, Jakarta Selatan. Ia terpikir bahwa Jembatan Kuningan salah satu spot menarik untuk motret.

"Selama ini, kalau lomba lari aku selalu motret di Jembatan Kuningan. Dan jadi spot terbaik juga, makanya aku tiap minggu pasti ada di sana. Ternyata tempat itu (Jembatan Kuningan) dijadikan destinasi bagi pesepeda," tambahnya.

Setelah hampir 3 bulan motret para pesepeda, pria 43 tahun itu merasakan betul perubahan dalam hidupnya. Terutama dari segi penghasilan. Meskipun kini fotografer yang bergabung sudah hampir 20 orang, namun ia tidak merasa kekurangan karena para fotografer itu sudah memiliki pelanggannya sendiri.

"Saya enggak bisa nyebutin angka penghasilan saya, tapi yang pasti kita punya kesepakatan harga di Jembatan Kuningan. Satu framenya dihargai Rp 100 ribu, kalau dua frame Rp 175 ribu, tiga frame Rp 225 ribu, kalau 4 frame ke atas tergantung negoisasi fotografer dan pesepeda sport enthusiast," jelasnya.

Fotografer di jembatan kuningan © 2020 brilio.net

foto: Instagram/@cnugroho

Kendati memotret dalam satu area yang sama, Cahyo mengatakan tak merasa rezekinya berkurang. Ia merasa di Jembatan Kuningan itu tempatnya orang-orang yang mengalami nasib yang sama. Bahkan ketika ada fotografer yang baru gabung, ia siap memberi masukan dan mengajari hingga mendapat pelanggan.

"Kita motret itu berjejer, jaraknya hanya 1 meter dengan fotografer lain. Sama sekali enggak ada iri-irian, karena kita semua nasibnya sama, yang membedakan itu hanya rutinitas upload di media sosial, kelayakan kamera dan lensa," ucapnya.

Selama motret, Cahyo menggunakan kamera DSLR Canon 7D makro. Biasanya ia rutin motret pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Biasanya motret saat weekday dimulai pukul 06.00 sampai 08.00 WIB sementara kalau weekend mulai pukul 06.00 sampai 09.30 WIB. Untuk cara penjualannya sendiri cukup unik, Cahyo lebih menjual foto-foto hasil karyanya ketika ada sport enthusiast yang tanya saja. Dan biasanya orang-orang itu yang sudah mengenal dia.

"Jadi kalau ada yang tanya aja (minta foto), biasanya aku tanyain ada foto hari ini tuh bajunya apa, sepedanya apa supaya aku cepet carinya di thumbnail. Terus aku tanya juga berapa kali melintas di Jembatan Kuningan. Kalau dia bilang dua kali, aku tanya lagi melintas jam berapa. Misal dia jawab jam 07.00 WIB, aku akan cari di 20 menit kemudian. Kemungkinan dia melintas di 7.20 sampai 7.30. Karena rata-rata satu loop mereka lewatin Kuningan itu 20-30 menit," terangnya.

Pria kelahiran 3 Maret 1975 itu merasa sangat bersyukur karena melihat para sport enthusiast sangat memberi dukungan kepada dirinya dan juga para fotografer lain.

"Para sport enthusiast yang sudah tahu kita itu pasti mereka beli. Sekali beli (foto) dari bisa dua sampai tiga fotografer," tuturnya.

Hal itu yang membuat Cahyo merasa bahwa Jembatan Kuningan itu merupakan tempat orang-orang bangkit. Di mana awalnya para fotografer datang dengan keadaan putus asa karena kehilangan pekerjaan, setelah tiga sampai empat kali motret aura mereka berbeda.

"Setelah pandemi membunuh mereka, karena kan kebanyakan dari mereka itu korban pandemi, ada yang kena layoff, ada yang job sepi. Mungkin pandemi masih ada, tapi mereka masih bisa tersenyum karena masih dapet penghasilan di Jembatan Kuningan," katanya.

Pertemanan antar fotografer yang luar biasa

Selain Cahyo, Indri Sjafri juga merupakan satu-satunya fotografer wanita di Jembatan Kuningan. Dulunya, Indri merupakan salah satu brand manager salah satu sport apparel lokal dan mengalami PHK. Indri menceritakan awal dirinya mendapat kabar bahwa kena PHK, ia justru panik karena memikirkan kehidupan ke depannya tanpa penghasilan. Ia mengatakan bahwa tak mungkin menggunakan uang tabungannya untuk bertahan hidup.

"Aku kena layoff-nya mendadak banget. Enggak ada one month notice, sebelumnya juga ada pemotongan gaji ibaratnya double, udah kena pemotongan gaji, sempet gaji kembali normal tapi bulan berikutnya kena layoff. Langsung panik dong besok gimana bayar cicilan dan untuk kehidupan sehari-hari," tuturnya.

Fotografer di jembatan kuningan © 2020 brilio.net

foto: Indri Sjafri

Perempuan yang memang hobi motret itu menceritakan saat sedang motret di Sudirman, ia bertemu dengan Cahyo. Dalam pertemuan itu, ia menceritakan bahwa dirinya kini sudah tidak bekerja lagi karena terkena PHK. Akhirnya Cahyo pun mengajaknya memotret di Jembatan Kuningan.

"4 Oktober aku ikut, nongkrong lihat kerjaannya gimana, sih. Aku bener-bener ikut, lihatin dia (Cahyo) motret. Ternyata dia udah banyak pelanggan. Terus aku mikir, wah gila nih orang udah famous di sini. Nah, akhirnya aku tertarik dan nyemplung dari nol lagi. Temen-temen di Jembatan Kuningan itu bener-bener saling bantu dan support. Pertemanannya luar biasa," terangnya.

Biasanya, dalam satu minggu ia rutin pada hari Selasa, Rabu, Jumat sampai Minggu. Sebagai orang yang baru terjun di fotografer olahraga, ia sempat merasa kesulitan dari hal kamera, penjualan, hingga personal branding. Namun wanita 37 tahun itu mengatakan bahwa teman-teman di Jembatan Kuningan saling membantu untuk hal itu.

"Sekarang aku pakai kamera 7D mark II. Awalnya dipinjemin Mas Cahyo Canon 60D tapi shutternya abis dan mati total. Besoknya weekend yang harusnya 'panen', aku panik enggak ada kamera. Di grup fotografer ada yg mau lepas kamera 7D itu, kebetulan jualnya murah. Akhirnya besok aku enggak bawa kamera dari rumah dan langsung motret. Pertemanannya terlihat banget, saling support," ungkapnya.

Fotografer di jembatan kuningan © 2020 brilio.net

foto: Indri Sjafri

Meskipun sudah hobi motret, namun Indri mengatakan bahwa biasanya ia hanya motret event lari komunitas dan juga private booking. Motret sepeda merupakan hal baru baginya. Tapi setelah melihat kekompakan dari para fotografer dan juga penghasilan yang didapat, ia makin fokus untuk terjun di bidang itu.

"Perjanjian kita enggak bisa sebutin angka. Tapi yang pasti lumayan banget. Dari yang awalnya enggak yakin, tapi pas dijalanin, jujur aja menjanjikan," ucap wanita asal Medan itu.

Win-win solution fotografer dan sport enthusiast

Di sisi lain, para pelaku jasa fotografer olahraga begitu menguntungkan bagi para sport enthusiast. Hal itu pun disampaikan oleh salah satu sport enthusiast yang kerap melintas di Jembatan Kuningan, AK Permana. Menurutnya, kehadiran para fotografer ini sangat membantu untuk mengabadikan momen dengan cara yang profesional.

"Sebagai win-win solution juga, mereka kan sebagai fotografer, di sisi lain job yang biasanya mereka dapatkan di situasi normal, kini tidak ada. Mereka menyajikan itu, mendapat momen untuk menjual keahlian mereka kepada siapa pun secara suka rela," ucapnya.

Fotografer di jembatan kuningan © 2020 brilio.net

foto: Instagram/@akpermana13

Permana mengatakan ia memang sudah hobi olahraga sejak muda. Kini sepeda jadi olahraga yang sedang digandrungi. Sejak tiga bulan terakhir, Jembatan Kuningan jadi lintasan yang selalu ia lewati saat bersepeda. Melihat para fotografer dengan keahliannya itu, tak jarang ia membeli foto dari mereka.

"Mereka punya keahlian itu, enggak semua orang bisa ambil gambar itu. Dari fotografer ada kualitas yang bagus, ada yang biasa aja, tapi semuanya harus saya hargai. Pas udah dekat mereka langsung kasih atau saya suruh DM, saya kasih (bayar) sewajarnya," ungkapnya.

Dalam satu minggu, Permana tiga kali melintasi Jembatan Kuningan. Ia mengatakan setiap melintas ia selalu membeli hasil karya dari para fotografer itu. Hal itu dilakukan sebagai bentuk support dirinya kepada para fotografer.

"Dalam satu hari biasanya saya beli (foto) dari dua atau tiga fotografer. Dan itu selalu berganti. Bukan cuma beli, tapi saya juga posting satu foto dari setiap fotografer. Saya juga ngajarin ke anak saya untuk menghargai mereka. Kan mereka udah tidur-tiduran di pinggir jalan, motret kita, masa enggak kita hargai," pungkas pria yang menjabat sebagai Direktur Bank Muamalat itu.