Brilio.net - Deretan foto sejumlah tokoh muda terpampang di salah satu sudut ruang Komunitas Salihara di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dari sejumlah foto itu, rata-rata mereka adalah sosok yang sudah di kenal di tanah air. Mereka adalah Teddy Adhitya (penyanyi), Petra Sihombing (penyanyi), Alain Goenawan (konten kreator), William Gozali (chef), dan Ben Sihombing (penyanyi).  

Uniknya, pada masing-masing foto terdapat audio rekaman tentang suara masing-masing tokoh. Isinya bercerita mengenai kisah perjalanan karier mereka yang pernah diragukan banyak orang, termasuk keraguan diri sendiri. Namun mereka akhirnya bisa membuktikan bisa menciptakan karya dan dikenal di masyarakat. Mereka bisa sukses karena berangkat dari keraguan.

Nah deretan foto tersebut merupakan instalasi fotografi karya Satria Lingga. Ini adalah pameran foto pertamanya. Cowok kelahiran 18 September 1993 ini dikenal sebagai salah satu fotografer muda berbakat tanah air. Tapi siapa sangka jika keahliannya memotret dia pelajari secara otodidak.

Ragu Jadi Bukti © 2019 brilio.net

Pria dengan nama lengkap Bismo Satria Lingga ini juga punya kisah unik seputar perjalanan kariernya. Pada 2008, saat kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, ia memutuskan berhenti sekolah. Padahal saat itu ia hendak mengikuti ujian akhir.

Bukan karena kedua orang tuanya tak sanggup membiayai. Tapi itu adalah pilihan hidupnya sendiri. Sebelum sekolah SMP, Satria pernah menjadi santri di Pesantren At-Taibin milik Muhamad Efendi atau yang lebih dikenal dengan Anton Medan di wilayah Cibinong, Jawa Barat.   

“Mungkin saat itu gue kebanyakan nongkrong jadi udah nggak kepingin sekolah lagi,” kisahnya kepada Brilio.net.

Sampai-sampai saat itu ia diminta menandatangani surat perjanjian dengan keluarganya. Dalam surat yang ditandatangani di atas meterai itu disebutkan, “Jika kelak ia gagal menjadi seseorang, ia tidak bisa menyalahkan kedua orang tuanya atau keluarganya.”

Ragu Jadi Bukti © 2019 brilio.net

“Nah dengan adanya surat perjanjian itu, gue harus membuktikan diri meski nggak bisa menyenangkan orang tua, tapi harus bisa jadi orang,” tegasnya.

Sejak itu, Satria menghabiskan hari-harinya dengan jalan-jalan, menonton konser musik dan karya seni visual. Dari sinilah ia berniat mempelajari dunia fotografi.

Semenjak menandatangani perjanjian itu, Satria tidak mendapatkan uang jajan dari kedua orang tuanya sebagaimana anak sebayanya. Semua keperluan harus ia cari sendiri. Bahkan kedua orang tuanya pun enggan bicara dengannya.

Dari situlah terbangun keinginan untuk berjuang sendirian. Beruntung ia mendapat dukungan dari sejumlah kawan yang mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi manusia yang berguna. “Ya lo harus buktiin kepada orang lain ketimbang pada orang tua gue sendiri,” katanya.

Ragu Jadi Bukti © 2019 brilio.net

 

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Satria bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan retail ternama. Uang yang ia dapatkan dikumpulkan untuk dibelikan sebuah kamera dan laptop yang menjadi impiannya. Ia membeli kedua peralatan itu dari seorang teman.

Tanpa disadari, Satria sebenarnya memiliki bakat terpendam dalam dunia fotografi. Belajar bermodalkan buku dan internet, membuat bakat yang ia miliki makin terasah tajam. Aktif di media sosial juga menjadi kendaraan penunjang dirinya dikenal banyak orang.

“Jadi apa yang sudah gue beli harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dari situ gue ketemu temen-temen baru. Temen fotografer dan gue belajar dari mereka,” kenang Satria.

Beruntung sebuah coffee shop di Jakarta menawarinya pekerjaan. Hal ini disebabkan si pemilik coffee shop menyukai foto-foto yang ia hasilkan. Ketika itu ia ditawari mengisi posisi staf sosial media sekaligus fotografer.  

Pekerjaan di coffee shop inilah yang menjadi gerbang awal perjalanan karier yang ia tempuh sebelum manjadi fotografer panggung Teddy Adhitya dan banyak artis lainnya.

Ragu Jadi Bukti © 2019 brilio.net

Ia pun sempat ditunjuk untuk menjadi ”still photographer' di beberapa film layar lebar, seperti Filosofi Kopi2, Love For Sale, hingga film laga Korea, Revenger. Tidak hanya berhenti di situ. Ia juga menjadi seorang brand ambassador lensa Sigma. Ini pun menjadi salah satu pancapaian terbesar dalam kariernya.

Ya, kisah Satria menjadi bukti bahwa sebuah keraguan yang pernah ia alami bisa menjadi salah satu modal untuk sukses. Saat ini, Satria bercita-cita ingin melanjutkan pendidikannya di luar negeri untuk memperdalam ilmunya. “Gue nggak pernah menyarankan anak-anak untuk putus sekolah, tapi lo jangan pernah ragu untuk karier yang mau lo jalanin,” ujar Satria.   

Satria bisa membuktikan bagaimana keraguan menjadi pemicu terbesar dalam pancapaian karier. Pembuktian menjadi titik balik dari sebuah proses penantian yang panjang. Satria juga bisa membuktikan bahwa bertahan dengan idealisme tanpa melupakan realita adalah jalan yang harus ditentukan.

Satu kesalahan bukan berarti akhir dari perjalanan. Maka dari itu Satria ingin mengajak publik untuk bisa mengenal dan merasakan sisi lain di balik nama besar seseorang lewat pameran fotonya. Agar setiap keraguan yang hadir tidak dijadikan alasan untuk berhenti. Karena karaguan berbicara hanya sementara tapi bukti berteriak selamanya. Salut!.