Brilio.net - Pada tahun 2016 lalu, sebuah rekor terbaru energi terbarukan telah dipecahkan. Sekitar enam juta rumah di California, Amerika Serikat, dikabarkan bisa dialiri listrik tenaga surya. Dengan memanfaatkan gelombang panas yang ada, menurut California Independent System Operator (CAISO), seperti dikutip brilio.net dari National Geographic, Senin (26/6), panel-panel surya di negara bagian itu berhasil menangkap tenaga listrik sebesar 8.030 megawatt.

Bahkan hingga kini, output gabungan dari panel surya yang ada di California sudah hampir memenuhi pasokan energi listrik yang diminta oleh negara sebanyak 49,2%. Rekor ini merupakan pertanda baik bagi negara terpadat di Amerika Serikat tersebut, yang kini sudah mengumpulkan paling tidak setengah kebutuhan konsumsi listrik hingga tahun 2030.

Output yang menggembirakan itu tentunya tidak diraih begitu saja. Para ilmuwan mencari cara agar berbagai kendala alam yang selama ini dihadapi pembangkit bertenaga surya, seperti angin yang melemah atau matahari yang seringkali bersembunyi di balik awan dan masih banyak lagi, bisa diatasi.

Sehingga, tuntutan konsumen agar bisa terus menerus mendapat pasokan listrik bisa dipenuhi. “Bukan tidak mungkin kalau kami juga menemui (permasalahan) permintaan penuh dari konsumen dan juga (permasalahan pada) energi yang terbarukan secara bersamaan,” ungkap Selma Kivran, wanita yang menjadi general manager for aeroderivatives at GE Power Services. “Kita masih membutuhkan sesuatu untuk mengisi celah dari permasalahan tersebut.”

Celah permasalahan yang dimaksud Kivran antara lain adalah tidak adanya baterai berskala grid yang bisa menjembatani kesenjangan pasokan karena baterai sangat mahal dan penggunaannya terbatas. Semuanya sudah menjadi daya cadangan ketika beban sudah berada di puncak (peakers).

Ide sistem hybrid pun kemudian coba diterapkan dan berhasil mengisi celah permasalahan tersebut. Kivran bersama dengan GE Energy Connections membawa peakers dan baterai bersama-sama dan membungkusnya dalam satu paket yang efisien dengan power management software yang canggih.

Dengan sistem hybrid ini, ketika turbin dimatikan, maka baterai bisa merespons secara otomatis. Dan untuk pertama kalinya di dunia, Southern California Edison (SCE) memberikan solusi tersebut di dua lokasi yaitu di Los Angeles.

Southern California Edison (SCE) me-launching sistem dengan teknologi hybrid dengan baterai dan gas turbin yang mampu memproduksi serta bisa menyimpan energi listrik saat musim sedang panas-panasnya dan juga saat permintaan listrik meningkat. Teknologi hybrid ini baru pertama kalinya ada di dunia, yang merupakan kerjasama resmi antara SCE dengan GE.

Cara kerjanya sendiri, seperti diungkapkan pimpinan SCE, Ron Nichols, dikutip dari Powersource, Senin (26/6), bahwa mirip dengan mobil hybird. Kita mengisi baterainya, kemudian dipindahkan ke turbin apabila permintaan listrik membludak.

General Manager untuk Grid Digital di Grid Solutions dari GE Energy Connection, Mirko Molinari, mengatakan bahwa teknologi hybrid tersebut adalah yang kedua di dunia. “Baterai tersebut bisa bekerja dengan cepat dan juga bersih, dan turbinnya akan menghasilkan listrik berapapun yang kita butuhkan. Daya tersebut adalah daya yang andal dan akan selalu ada serta bisa memberi manfaat lebih buat lingkungan,” jelas Molinari.

“Seperti mobil, kami ingin memiliki alat ini di mana-mana, namun nyatanya jumlah energi yang bisa kita kumpulkan ke baterai dengan biaya yang hemat ternyata hanya bisa bertahan dalam beberapa jam saja. Jadi untuk sementara, teknologi hybrid ini adalah yang terbaik,” tambahnya.

Engineer dari GE sendiri saat ini mengembangkan software yang memungkinkan pengelolaan dengan tepat dan optimal agar bisa mengetahui seberapa cepat daya baterai habis dan seberapa cepat turbin serlu ditingkatkan. “Jika seseorang memasang baterai di sebelah turbin, di situlah kamu bisa melihat keajaiban dari mengontrol integrasi antara keduanya tersebut,” imbuh Molinari.

Kivran pun melanjutkan, selain berkutat dengan produksi energi terbarukan, saat ini GE terus berkomitmen dan berusaha untuk mencari solusi-solusi dari permasalahan produksi listrik. “Solusi ini bisa diukur. Kami telah mengoptimalkan penyimpanan energi untuk memenuhi biaya performa yang diinginkan, namun jika mengingat bahwa desainnya modular, tidak ada alasan mengapa kami tidak bisa mencapai 100MW atau lebih,” ujar Kivran.

Saat nanti California menuju sasaran terbarunya lebih tinggi, tambah Kivran, maka kurva juga akan menjadi parah. “Jadi kita akan membutuhkan solusi yang lebih banyak untuk mendukung teknologi terbarukan yang lebih tinggi pula,” pungkasnya.

Mengimplementasikannya di Indonesia

Seperti kita ketahui, salah satu tantangan terbesar yang menghambat pengembangan pembangkit energi terbarukan terutama energi surya dan angin adalah kesiapan system PLN untuk menerima pasokan listrik dari pembangkit tersebut dikarenakan sifatnya yang tidak stabil dan kontinuitas energi yang dibangkitkan tidak terjamin. Hal ini disebabkan ketergantungan pembangkit tersebut pada faktor eksternal, seperti contohnya kondisi kecepatan dan arah angin, sinar matahari, dsb. Kondisi tersebut akan mengakibatkan gangguan pada stabilitas system di PLN.

Salah satu cara untuk menanggulangi hambatan tersebut adalah dengan menggunakan battery system, dimana selain dapat meningkatkan kestabilan pasokan listrik juga berfungsi sebagai pengganti sementara di saat energi baru terbarukan tidak dapat memasok listrik. Masalahnya, teknologi battery system masih mahal dan jumlah kapasitasnya pun terbatas.

Selain itu regulasi pemerintah berkaitan harga jual listrik yang mengacu kepada biaya pokok produksi listrik juga menjadi salah satu hambatan yang dihadapi untuk mengembangkan pembangkit energi terbarukan. Padahal, pemerintah sudah menargetkan 23% pemanfaatan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional di tahun 2025.

Menurut Joko Prakoso, Sales Director, GE Energy Connection, teknologi hybrid ini bisa saja diimplementasikan di Indonesia sebagai alternatif battery system. “Namun, kita harus melihat kembali seberapa besar biaya produksi listriknya. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah lokasi pembangkit, karena teknologi hybrid ini membutuhkan gas.”