Brilio.net - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho meninggal dunia Minggu dini hari di Guangzhou, China. Kabar meninggalnya Sutopo disampaikan oleh Direktorat Pengurangan Resiko Bencana BNPB melalui akun resmi Twitternya, Minggu pagi.

"Telah meninggal dunia Bapak @Sutopo_PN, Minggu, 07 Juli 2019, sekitar pukul 02.00 waktu Guangzhou/pukul 01.00 WIB. Mohon doanya untuk beliau," demikian pernyataan Direktorat PRB BNPB.

Sutopo Purwo Nugroho menghembuskan nafas terakhirnya saat menjalani perawatan untuk kanker paru-paru stadium 4B yang dideritanya. Sutopo sedianya akan menjalani perawatan di Guangzhou selama satu bulan. Dirinya bertolak ke Tiongkok pada 15 Juni 2019 lalu.

Semasa hidupnya, Sutopo dikenal sebagai sosok yang sangat berdedikasi dalam bidang kebencanaan. Sutopo aktif memberikan informasi seputar bencana di Tanah Air melalui media sosialnya. Kendati tengah didera rasa sakit, namun Sutopo tetap memberikan pelayanan terbaik agar khalayak mendapat informasi yang valid soal bencana yang terjadi.

Pria asal Boyolali ini merupakan alumnus Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada ini memulai kariernya bukan tanpa perjuangan. Sutopo pernah menceritakan perjuangannya merampungkan skripsi agar segera lulus kuliah. Dalam akun Instagramnya, Sutopo membagikan kenangannya menyelesaikan masa studinya.

Kenangan tersebut tercatat dalam buku catatan yang masih tersimpan rapi olehnya. Dalam catatan tersebut, Sutopo yang tak kunjung menyelesaikan studinya menulis surat permohonan maaf untuk orangtua. Dirinya merasa bersalah kepada orangtua karena telah melalaikan studinya yang tentu saja tak lepas dari perjuangan orang tua.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 

Pernahkah kalian mengalami patah semangat menyelesaikan skripsi? Lalu mengabaikan skripsi, dan akhirnya insaf untuk menyelesaikan. . Saya pernah mengalami itu. Gara-gara data sulit diperoleh, gagal statistik multivariat, dan permintaan dosen pembimbing juga aneh. Menyalahkan tapi tidak memberi solusi. . Akhirnya skripsi saya tinggalkan dengan penuh kebingungan. Mau ganti tema juga nanggung. Berbulan-bulan penuh ketikpastian dan tak ada kemajuan. . Saat ditanya orangtua, "Kamu kapan wisuda? Jangan lama-lama kuliahnya karena biayanya mahal. Adikmu juga bayar SPPnya mahal. Apalagi adikmu kuliah di swasta lebih mahal." . Selalu mengingat orangtua, selalu membangkitkan semangat belajar. Membayangkan betapa bahagianya orangtua hadir di tengah wisudaku. . Semua itu tertuang dalam catatan di blocknote Mei 1993. 26 tahun yang lalu. Blocknote pemberian temen dari UI. . Jadi jangan patah semangat. Saat ada hambatan menyelesaikan skripsi. Ingst selalu orangtua. Bayangkan mereka hadir di tengah wisuda. Pasti bahagia.

A post shared by Sutopo Purwo Nugroho (@sutopopurwo) on

 

"Pernahkah kalian mengalami patah semangat menyelesaikan skripsi? Lalu mengabaikan skripsi, dan akhirnya insaf untuk menyelesaikan. Saya pernah mengalami itu. Gara-gara data sulit diperoleh, gagal statistik multivariat, dan permintaan dosen pembimbing juga aneh. Menyalahkan tapi tidak memberi solusi. Akhirnya skripsi saya tinggalkan dengan penuh kebingungan. Mau ganti tema juga nanggung. Berbulan-bulan penuh ketikpastian dan tak ada kemajuan. Saat ditanya orangtua, "Kamu kapan wisuda? Jangan lama-lama kuliahnya karena biayanya mahal. Adikmu juga bayar SPPnya mahal. Apalagi adikmu kuliah di swasta lebih mahal," tulis Sutopo.

"Selalu mengingat orangtua, selalu membangkitkan semangat belajar. Membayangkan betapa bahagianya orangtua hadir di tengah wisudaku. Semua itu tertuang dalam catatan di blocknote Mei 1993. 26 tahun yang lalu. Blocknote pemberian temen dari UI. Jadi jangan patah semangat. Saat ada hambatan menyelesaikan skripsi. Ingst selalu orangtua. Bayangkan mereka hadir di tengah wisuda. Pasti bahagia," lanjutnya.

Pada akhirnya Sutopo berhasil merampungkan skripsi dan lulus dari Universitas Gadjah Mada. Dirinya kemudian masih harus berjuang mencari pekerjaan setelah lulus. Sutopo bahkan pernah ditolak saat melamar menjadi dosen di almamaternya. Sutopo juga menceritakan perjuangannya memeroleh pekerjaan.

"Ada 2 periode waktu yang menakutkan selama hidup saya yaitu mencari universitas setelah lulus SMA dan mencari pekerjaan setelah lulus S1," tulis Sutopo di Instagramnya.

"Mencari universitas negeri tidak mudah. Dihapusnya jalur PMDK atau undangan saat itu. Hanya ada satu peluang yaitu test SIPENMARU atau SBMPTN saat ini. Saya hanya mengikuti satu test itu. Tidak berani mendaftar swasta karena beayanya mahal saat itu. Akhirnya diterima di Fakultas Geografi UGM Yogyakarta. Ini pilihan ketiga. Itu pun kesasar karena salah informasi. Pilihan pertama Kedokteran Umum UGM dan kedua Manajemen UGM," tuturnya.

"Akhirnya lulus S1 dengan predikat cum laude, tercepat, termuda. Menjadi mahasiswa teladan dan juara Lomba Karya Inovatif Produktif Tingkat Nasional," ungkap Sutopo.

"Lalu masuklah periode menakutkan kedua yaitu cari pekerjaan. Hampir tiap hari kirim lamaran. Total 32 surat lamaran via kantor pos. Dari 32 lamaran:
- 2 dapat panggilan lalu test dan diterima, yaitu di BPPT dan PT Sumalindo Lestari Jaya.
- 2 dapat panggilan tapi test gagal yaitu Dosen Universitas Esa Unggul dan PT Garuda Indonesia.
- 3 dapat surat balasan isinya ditolak yaitu:
1. Dosen F. Geografi UGM Yogya
2. Dosen F. Geografi UMS Solo
3. Dosen Perikanan IPB Bogor

-25 TIDAK ADA surat balasan dan tidak direspons.

Selama mencari pekerjaan, tidak semua perusahaan atau instansi besar yang saya lamar. Tapi perusahaan kecil bahkan konsultan pun saya lamar. Selama mencari pekerjaan itu banyak yang hanya PHP, diajak kesana kemari tapi akhirnya tidak ada kejelasan, dijanjikan dan lainnya," tulis Sutopo.

"Semua ini tercatat di block note 24 tahun yang lalu. Block note pemberiat teman di UI yang saya pakai buat catatan penting dan diary. Jadi bagi anak-anak muda, Jangan putus asa. Salah milih jurusan atau belum dapat pekerjaan meski sudah banyak kirim lamaran. Tuhan punya rencana yang lebih baik untuk kita. Tuhan tidsk langsung mengabulkan doa kita seketika. Untuk itu sabar dan terus berikhtiar. Kita tidak tahu masa depan kita. Tapi kita harus terus belajar, tekun, semangat, sabar dan berdoa," pungkasnya.