Brilio.net - Kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sejumlah daerah di Sumatera memberikan banyak dampak bagi masyarakat. Kabut asap yang menutupi pandangan membuat mereka kesulitan dalam beraktivitas.

Selain itu, kualitas udara yang semakin menurun tak sedikit pula menyebabkan masyarakat terserang sakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Bahkan dikabarkan seorang bayi berusia empat bulan meninggal dunia karena paparan asap di Palembang.

Hal serupa pun juga terjadi oleh Suparlan warga Suku Anak Dalam (SAD) Pangkalan Ranjau, Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Suparlan menghembuskan napas terakhirnya, pada Selasa (17/9) diduga karena paparan kabut asap yang semakin memperparah asmanya.

Dilansir dari liputan6.com, Jumat (20/9) penyakit asma yang diderita pria 58 tahun semakin parah karena dipicu paparan kabut asap yang menyelimuti wilayah adat mereka. Hingga akhirnya Suparlan mengalami sesak napas dan akhirnya mengembuskan napas terakhirnya setelah selama empat hari dirawat di rumahnya.

"Dio (Suparlan) punyo asma, terus dio ikut memadamkan lahan yang terbakar, setelah itu empat hari dio sakit sesak napas, akhirnyo meninggal dunio, sekarang sudah dimakamkan," kata Safrizal Bri seperti dikutip dari liputan6.com Jumat (20/9).

sad meninggal asap © 2019 brilio.net

foto: Liputan6.com/Dok Hulubalang SAD Pangkalan Ranjau

Selama empat hari, Suparlan hanya dirawat ala kadarnya oleh keluarga di rumahnya yang terbuat dari papan dengan sirkulasi udara yang seadanya. Suparlan tak sempat dirujuk ke pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), apalagi dirujuk ke dokter karena keluarganya tak cukup mempunyai biaya.

"Macam mano nak bawa ke dokter, keluargonyo dak punyo biaya, dan jugo lokasinyo jauh dari tempat kami iko," kata Bri.

Bri menuturkan dalam beberapa hari terakhir, kondisi wilayah adat Suku Anak Dalam di Pangkalan Ranjau, sangat pekat diselimuti kabut asap. Bahkan, jarak pandang pada pagi hari hanya mencapai 100 meter.

Kini kelompok masyarakat adat hanya bisa berharap agar pemerintah dapat memberikan pelayanan kesehatan gratis yang mudah dijangkau oleh kelompok mereka. Mereka mengaku sangat dirugikan dengan bencana kebakaran hutan dan lahan.

"Suku anak dalam dikelompok kami iko banyak petani dan kerjonyo di ladang, saat asap kayak iko kami rugi, jadi kami sangat berharap ado layanan kesehatan," katanya.

Direktur Beranda Perempuan Ida Zubaidah mengatakan, dampak kabut asap yang semakin parah tak bisa dielakan lagi, termasuk juga suku anak dalam yang rentan terpapar kabut asap.

Zubaidah menjelaskan Suparlan adalah salah satu contoh seorang warga suku anak dalam yang sudah menjadi korban paparan kabut asap. Menurutnya kondisi ini harus segera diantisipasi pemerintah.

"Kalau pernyataan dokter tentang penyebab meninggal dunia Suparlan tidak mungkin ada, karena akses mereka untuk ke dokter atau puskesmas mereka enggak akan mampu, jadi menjadi hal yang wajar mereka menduga kabut asap menjadi salah satu penyebab kematian Suparlan," kata Zubaidah.

Zubaidah mengatakan, sulit bagi suku anak dalam supaya menerima dievakuasi untuk keluar kampung. Hal itu lantaran, saat ini tak jarang dari kebun mereka ada yang terbakar sehingga mereka tidak mungkin bisa meninggalkan desa.

Beranda Perempuan sebagai kelompok yang fokus pada pendampingan kelompok rentan itu mendesak supaya pemerintah lebih tanggap menangani persoalan kabut asap, terutama untuk masyarakat rentan di pedesaan yang jauh dari akses layanan kesehatan.

"Di desa-desa harus disediakan ruang bebas asap yang menyediakan oksigen, obat-obatan gratis secara gratis, sehingga masyarakat yang punya riwayat penyakit asam bisa tertolong," ujarnya.