Brilio.net - Brand pakaian olahraga ternama, Nike, menghelat bazar yang menawarkan diskon hingga 90%. Menurut jadwal, Nike Bazaar ini dibuka Senin-Minggu (21-27/8). Sejak hari pertama masyarakat yang tergiur berbondong-bondong menuju lokasi diskon di lantai 5 Mal Grand Indonesia Jakarta. Pengunjung harus kepanasan dan berdesakan demi mendapatkan produk incarannya. Bahkan, ada yang telah mengantre empat jam namun diskon sepatu tak sesuai dengan perkiraan sehingga membeli produk lain daripada pulang dengan tangan hampa.

Beberapa produk Nike yang tersedia misalnya Air Jordan 12 retro FA16 dari harga Rp 2,779 juta menjadi Rp 883 ribu, Air Force 1Mid 07 HO16 dari Rp 1,429 juta menjadi Rp 571 ribu, Total90 Laser III FG SU10 dari Rp 2,299 juta menjadi Rp 229 ribu, dan Mercurial Vapor VI FG SU10 dari Rp 3,590 juta menjadi Rp 359 ribu.

Di hari kedua, kericuhan terjadi. Pembatas booth yang disediakan pihak penyelenggara jebol karena diterjang pemburu diskon yang tak kunjung mendapat kesempatan masuk area bazar. Kotak-kotak sepatu berwarna orange yang awalnya tersusun rapi menjadi berserakan. Sepatu-sepatu bertumpuk di lantai terinjak-injak oleh pengunjung.

Kasus berebut diskon hingga rusuh tak sekali ini saja terjadi. Pada Juni lalu, sebuah mal di Serang, Banten menggelar midnight sale. Lantaran saling berebut barang, area penjualan sepatu dan sandal untuk wanita ini sungguh tak karuan dengan kondisi kardus yang berhamburan hingga ke lantai.

Seorang netizen bernama Nynda Fitri mengabadikan momen tersebut. Nynda Fitri mengungkapkan bahwa diskon yang ditawarkan sebenarnya relatif biasa, salah satunya beli 2 gratis 1. Namun karena tingginya minat pembeli dan terlalu kalap, suasana jadi kisruh dan membuat para SPG kesulitan.

 

peristiwa diskon © 2017 Instagram


Apa sebenarnya yang membuat orang-orang begitu gandrung pada diskon?

Hal ini bisa ditinjau dari sisi psikologis. Dikutip dari tulisan Michiel, seorang konsultan pemasaran di yoast.com, secara alamiah orang-orang punya insting mencari kesenangan untuk memenuhi kepuasan biologis dan psikologis. Penyelenggara diskon selalu memberikan periode waktu tertentu. Inilah yang mendorong orang-orang merasa bahwa diskon adalah urusan yang urgen. Pasalnya, melewatkan diskon dianggap melewatkan kesempatan menghemat sekian nominal uang. Di sinilah diskon bekerja memengaruhi khalayak.

Matt Win, seorang manager perusahaan yang ahli di bidang e-commerce, sebagaimana dikutip dari volusion.com menyebutkan bahwa konsumen pada dasarnya enggan memperhitungkan berapa nominal uang yang akan mereka keluarkan. Mereka lebih berfokus pada angka diskon dan merasa mendapatkan untung dari diskon.

Konsumen sudah kadung gembira dengan potongan harga yang ditawarkan sehingga tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa produsen telah menaikkan harga sebelum memberikan diskon. Potongan harga juga membuat orang enggan untuk mencari penawaran yang lain.

Diskon bisa bermacam-macam. Semisal memberikan produk gratis jika membeli beberapa item, bebas ongkir, potongan nominal harga, ataupun potongan harga dalam persen. Diskon merupakan suatu strategi pemasaran yang efektif. Misalnya, orang-orang lebih cenderung ingin mendapatkan diskon 50% dengan harga yang sebenarnya sama dengan harga awal dibandingkan dengan menghemat 30%.

Psikolog klinis dan forensik alumnus UI, Kasandra Putranto punya pendapat agak sama. Menurut dia program diskon adalah sebuah teknik marketing untuk menarik para konsumen berbelanja. Misalnya, suatu brand memberikan voucher senilai Rp 100 ribu setelah berbelanja minimal sekian rupiah. Padahal harga produk yang dijual tidak ada yang di bawah nilai voucher. Sementara itu, voucher hanya berlaku beberapa hari. Sehingga konsumen terdorong untuk mengeluarkan uangnya lagi. Sebuah brand memakai psikologi marketing supaya produknya laris di pasaran. Maka sebenarnya, diskon tak hanya berdampak pada penghematan uang konsumen tapi juga semakin meningkatkan interaksi khalayak dengan produk/brand. Diskon mendorong ketergantungan konsumen. Mereka akan cenderung enggan mencari barang dengan harga normal.

Heldi dari Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pernah melakukan menulis tentang pola konsumsi masyarakat postmodern. Di tulisan yang dimuat di jurnal Al-Iqtishad: Vol I/1/Januari 2009, menyebutkan bahwa orang-orang menginginkan barang konsumsi tak hanya semata menginginkan barang tersebut.

Kebutuhan terhadap barang tidak hanya terbatas untuk memperolehnya, melainkan juga mengumpulkannya. Para konsumen tidak sekadar membeli barang, melainkan juga membeli citra dari barang tersebut. Konsumen tak lagi rasional saat mencari barang.