Brilio.net - Virus corona atau Covid-19 pertama kali muncul pada tahun 2019. Sejak saat itu virus menyebar ke berbagai negara, termasuk di Indonesia. Penyebarannya kian hari makin meningkat dan hingga kini masih menjadi kekhawatiran dunia. Jumlah kasus secara global, termasuk Indonesia, masih terus mengalami peningkatan.

Dilansir brilio.net dari Liputan6.com, Minggu (6/9) total akumulatif pasien yang meninggal karena Covid-19 di Indonesia mencapai 8.025 orang. Kemudian, kasus positif pada hari ini bertambah 3.444 orang. Total akumulatifnya hingga saat ini di Indonesia, ada 194.109 orang terkonfirmasi positif Covid-19. Meski demikian, rupanya masih banyak orang tak percaya dengan adanya virus corona.

Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR, Kamis (3/9) mengungkapkan bahwa tingginya jumlah masyarakat di Jakarta yang masih tidak percaya bisa tertular virus Covid-19. Selain DKI Jakarta yang menduduki peringkat pertama, juga diikuti oleh daerah lain yang memiliki pemikiran sama, yakni daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan.

Fenomena masyarakat yang tinggi tingkat ketidakpercayaan pada penularan Covid-19 diiringi dengan jumlah kasus di daerah tersebut yang terus berada di posisi puncak. Seperti diketahui pada Jumat (4/9) lalu, DKI Jakarta dengan 43,400 kasus dan Jawa Timur 34,655 kasus.

"(Warga) masih menganggap Covid rekayasa, masih anggap Covid ini konspirasi. Kami akan upayakan tim gabungan bisa sasar daerah-daerah tersebut," jelas Doni dalam rapat seperti dilansir brilio.net dari merdeka.com pada Minggu (6/9).

masyarakat tak percaya virus freepik.com

foto: freepik.com

Pernyataan Doni sejalan dengan penjelasan dari Psikolog Klinis dan Hipnoterapis, Alexandra G. Adeline.

"Kita lihat beritanya sama-sama kuat yang pro bahwa benar corona berbahaya dan yang kontra menyatakan corona hanya konspirasi," kata Alexandra.

Alexandra menjelaskan kecenderungan manusia itu mencari informasi berdasarkan apa yang mereka percayai, dan membuat mereka merasa aman sehingga lebih tenang. Kebalikannya, sebagian yang lainnya memilih tidak percaya sehingga lebih memilih percaya ke dugaan konspirasi.

"Kita lihat banyak orang yang enggak pakai masker padahal lagi pandemi, mereka cenderung bilang konspirasi dengan berbagai alasan salah satunya belum melihat kejadian pasien mati yang terjadi di depan mata mereka," kata Alexandra.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap kondisi saat ini, disusul dengan banyaknya pemberitaan yang menyatakan jumlah orang tanpa gejala (OTG) lebih banyak ketimbang orang yang terpapar virus atau bahkan yang meninggal. Tak hanya itu, ketika awal pandemi masuk ke Indonesia sudah banyak teori konspirasi yang beredar di masyarakat. Diantaranya, yakni cerita konspirasi terkait kebocoran laboratorium biologi di China, konspirasi vaksin, permainan bisnis hingga pengembangan senjata biologis.

Terlebih lagi di situasi pandemi yang telah berlangsung berbulan-bulan, banyak di antara mereka tidak terinfeksi virus. Sehingga semakin membuat mereka memperdebatkan apakah virus ini nyata adanya.

Alexandra pun menjelaskan situasi ini dengan teori Maslow yang menjelaskan terdapat lima kebutuhan fundamental manusia. Tingkatan ini terdiri dari kebutuhan fisik, rasa aman, cinta, harga diri, dan puncaknya adalah aktualisasi.

Dari yang paling bawah, kebutuhan yang setiap hari dibutuhkan misalnya kebutuhan fisik, mencakup makan, tidur dan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Menurutnya masih banyak masyarakat kurang mampu di luar sana dalam artian untuk makan saja masih sulit. Dalam teori ini menjelaskan jika manusia masih berada di tahap kebutuhan di bawahnya maka cenderung untuk tidak memikirkan kebutuhan yang ada di atasnya.

masyarakat tak percaya virus freepik.com

foto: freepik.com

Ia pun menyoroti masyarakat yang tak acuh untuk membeli masker dan hand sanitizer. Sebab tidak menutup kemungkinan untuk makan saja mereka masih kesulitan sehingga mereka cenderung lebih percaya dengan realita di depan mereka, ketimbang virus Covid-19 yang ada di berita saja.

Fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyebaran virus Covid-19 ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Tak sedikit negara di luar sana yang masyarakatnya lebih memercayai teori konspirasi yang beredar.

Tidak jauh berbeda disampaikan oleh pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai fenomena ketidakpercayaan masyarakat pada penyebaran corona diantaranya karena tak ada seorang pun yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebelumnya tentang hal tersebut. Sebab virus corona ini merupakan hal baru.

"Ketiga, ada penglihatan, orang tidak melihat langsung, kalau demam berdarah setidaknya paling tidak orang terdekat pernah kena, tapi Covid-19 apa iya Anda pernah melihat sendiri?" ujar Devie seperti dilansir dari merdeka.com.

masyarakat tak percaya virus freepik.com

foto: freepik.com

Devie menjelaskan bahwa manusia itu sangat visual, "seeing is believing" sehingga hanya memercayai apa yang dilihatnya.

Berbagai hoaks dan juga konspirasi masih banyak beredar luas di internet dan tidak jarang orang yang memercayainya. Sehingga penyebaran hoaks ini menjadi salah satu pemicu dari ketidakpercayaan masyarakat.

"Jadi 4P pengetahuan, pengalaman, penglihatan, penyebaran hoaks, tidak hanya masyarakat Indonesia saja, ini bahkan terjadi di negara maju. Seperti Amerika yang menolak memakai masker secara gila gila-an. Artinya jangan salahkan masyarakat kita," sambungnya,

Menurut Devie yang dapat dilakukan yaitu pertama sosialisasi tiada henti. Dia percaya masyarakat perlu disosialisasi terus menerus. Kedua, demonstrasi simbolik ia mencontohkan seperti kejadian yang baru-baru ini viral terkait dengan pelanggar masker yang dimasukan ke dalam peti jenazah, menurutnya itu menjadi langkah yang baik untuk menyadarkan masyarakat bahwa virus Covid-19 itu nyata adanya.

Menggunakan tokoh publik juga bisa menjadi cara agar apa yang disampaikan pemerintah bisa sampai ke masyarakatnya. Peran tokoh publik memang dinilai penting sebagai pemberi contoh dan panutan. Dengan cara menggunakan tokoh publik di media sosial ataupun secara langsung seperti menggunakan peran RT dan tokoh masyarakat.