Brilio.net - KPK menyatakan ada sandi baru yang dipakai dalam kasus korupsi di Klaten, Jawa Tengah. Bupati Klaten Sri Hartini diketahui menggunakan kata sandi 'uang syukuran' untuk menerima suap terkait promosi dan mutasi jabatan di lingkungannya.

"Dalam penelusuran diperoleh istilah ada kode uang itu adalah 'uang syukuran' terkait indikasi pemberian suap untuk mendapatkan posisi-posisi tertentu di kabupaten Klaten. Pemberian ini berhubungan dengan promosi dan mutasi jabatan terkait pengisian organisasi dan tata kerja organisasi perangkat daerah yang diamanatkan PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK Jakarta, Sabtu (31/12).

KPK menetapkan Sri Hartini sebagai tersangka dugaan penerimaan suap pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Jumat (30/12) di Klaten dengan barang bukti uang senilai Rp 2,08 miliar dan USD 5.700 serta 2.035 dolar Singapura dan buku catatan mengenai sumber uang tersebut. Suap untuk mendapatkan jabatan tersebut nantinya akan mengurangi kualitas pekerjaan.

"Kasus ini agak signifikan karena merupakan kasus pertama yang ditangani KPK yang berhubungan dengan memperdagangkan jabatan. Memang kami dengar banyak sekali uang yang harus diberikan untuk posisi tertentu bagi pegawai dan staf, makanya kami menganggap hal ini prioritas," tambah Laode.

"Harus diingat, kalau semua orang untuk jabatan tertentu harus membayar, bisa dibayangkan kualitas pekerjaan orang itu. Sebagai bupati atau siapapun yang menunjuk orang berdasarkan bayaran maka kepala daerah itu akan kehilangan 'moral authority' kepada bawahannya karena jabatan hanya berdasarkan bayaran, ini sangat tidak baik," tegas Laode dikuti dari Antara.

Ia pun meminta agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memperhatikan dan memonitor proses penentuan jabatan-jabatan di pemerintah daerah.

"KPK minta Mendagri untuk menurunkan tim untuk menangani hal ini agar ada seleksi terbuka untuk mengisi pos-pos tersebut karena jumlah uang masing-masing untuk rumpun jabatan memang ada pembedaan. Jumlahnya bervarasi satu dan lain, untuk eselon 4, 3, 2 itu semakin tinggi eselon dan semakin strategis jabatan makin tinggi uang yang disetorkan," jelas Laode.

Apalagi dengan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah yang mengamanatkan formasi baru dalam struktur pemerintah daerah sehingga ada banyak promosi dan mutasi.

"KPK menengarai mungkin hal ini tidak hanya terjadi di Klaten tapi juga seluruh indonesia. Kami berharap kiranya Kemendagri betul-betul memonitor, mensupervisi langsung berhubugnan dengan penempatan orang-orang tersebut. Kami juga berharap ada sistem 'assessment' dengan transparan sehingga bupati jangan asal tunjuk atau tergantung pada berapa jumlah setoran dari orang yang ingin menempati jabatan itu," tegas Laode.

KPK juga masih akan melakukan koordinasi dengan tim saber pungli terkait jual beli jabatan.

"Kami menyesal karena yang tertangkap pernah menandatangani pakta integritas di kantor ini dan yang ia lakukan saat ini sangat bertentangan dengan pakta integritas yang ditandatangani ketika itu," ungkap Laode.

Tersangka penerima suap dalam kasus ini adalah Bupati Klaten Sri Hartati yang disangkakan Pasal 12 huruf a dan atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Sementara tersangka pemberi suap adalah Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten Suramlan dengan sangkaan Pasal 5 ayat 1 huruf a dan atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.