Brilio.net - Pada 2015, tingkat elektrifikasi nasional sudah mencapai 88,5%, artinya, dari 100 rumah, hanya sekitar 89 yang sudah teraliri listrik. Sayangnya, jumlah tersebut tidak menyebar secara merata. Ada beberapa daerah yang masih kesulitan akses listrik untuk kebutuhan sehari-hari. Di Papua misalnya, hanya mencapai 44,40%, dan di Kalimantan Tengah hanya mencapai 68,27%.

Pemerintah telah menargetkan kenaikan tingkat elektrifikasi hingga 98 persen dan produksi listrik mencapai 35.000 MW di 2019. Tapi kenaikan produksi listrik bukan satu-satunya yang dituju oleh pemerintah. Pemerintah juga menargetkan pergantian sumber listrik, dari sumber habis menjadi sumber terbarukan sebesar 25% pada tahun 2025. Sejalan dengan itu, Indonesia juga menargetkan penurunan emisi sebesar 30 persen di 2030.

Tapi, apakah mungkin target itu tercapai?

“Di Indonesia, produksi bahan bakar untuk listrik yang paling murah dan dengan skala terbesar masih ada di batu bara, di mana satu unit pembangkit bisa menghasilkan 1.100 MW, tapi batu bara pasti habis. Jadi, sebelum habis kita harus bisa mengejar agar bisa keep up dengan kebutuhan,” ujar Setiobudhi Soemartono, Country Leader GE Steam Power Systems, sebagaimana dilansir brilio.net dari laman GE Reports Indonesia, Sabtu (24/6). “Untuk sekarang, penggunaan sumber daya terbarui belum sampai skala semasif batu bara, tapi kita akan sampai ke sana.”

Ragu Balanathan, Technical Director dari GE Renewable Energy, mengatakan bahwa dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan jutaan penduduknya hidup di daerah pedalaman, produksi listrik menggunakan sumber daya terbarukan adalah cara yang paling efektif untuk memenuhi kebutuhan mereka — dibandingkan bila harus menggunakan diesel atau bahan bakar minyak.

Salah satu sumber daya terbarukan yang sedang diupayakan oleh pemerintah adalah tenaga angin. Memang, kecepatan angin di Indonesia tidak sekencang Australia, tapi ini bukan masalah mengingat sudah ada teknologi yang dikhususkan untuk angin kecepatan sedang hingga rendah.

“Kondisi angin di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Thailand, dan kami telah berhasil membangun dua pembangkit di sana,” kata Ragu.

Ragu menambahkan bahwa ada tantangan lain berupa dukungan pemerintah mengenai penggalakan penggunaan tenaga terbarukan ini. Namun, pemerintah sendiri sudah menjanjikan insentif di mana PLN akan membeli hasil produksi listrik dari sumber terbarukan dengan harga yang disesuaikan: harga beli akan lebih tinggi di daerah yang biaya produksinya lebih mahal. Kebijakan ini diharapkan akan mendorong investor untuk membangun pembangkit di daerah terpencil sehingga pemerataan suplai listrik bisa tercapai.

Tantangan lainnya adalah mengenai teknis operasi —sesuatu yang juga dikhawatirkan oleh PLN.

PLN, selaku penyedia listrik nasional dan ‘pembeli’ hasil produksi pembangkit, mengkawatirkan suplai angin yang tidak kontinyu dan sistem grid yang sulit diintegrasikan dengan grid distribusi PLN yang sudah tersedia, sehingga hasil listrik yang dihasilkan tidak optimal dalam penggunaannya. Namun, kekhawatiran ini mulai terkikis dengan adanya perkembangan teknologi yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

“Kami, selaku operator dan pemilik teknologi, hanya harus menguatkan network management, karena sebenarnya grid yang ada tidak berbeda. Dengan teknologi terbaru, kami bisa mengintegrasikan fungsi kontrol, melakukan forecasting bagi suplai angin berdasarkan data dari BMKG, dan menjamin stabilitas grid di pembangkit dan sistem distribusi PLN,” jelas Joko Prakoso dari GE Renewable Energy.

Lalu, di manakah idealnya pembangkit listrik tenaga bayu dibuat?

Ragu mengatakan bahwa idealnya, pulau Jawa adalah tempat terbaik untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu, karena kebutuhan masih tinggi dan biaya konstruksi yang relatif lebih rendah. Namun ia tidak menutup kemungkinan bagi daerah lain yang lebih membutuhkan asupan listrik, karena Indonesia memiliki banyak tempat dengan kapasitas angin dan akses ke grid PLN yang beragam.

Sejalan dengan itu, Joko menambahkan bahwa sebenarnya pembangkit tenaga angin dapat dibangun di mana pun dengan angin dan akses yang memadai, namun dengan keadaan saat ini, ada baiknya bila pembangunan pembangkit tenaga angin diintegrasikan dengan pembangkit tenaga tak terbarukan terlebih dahulu.

“Saat ini, Indonesia belum bisa bergantung sepenuhnya pada sumber daya terbarukan karena masih mahal pembangunan dan pengelolaannya. Tapi ini adalah mandat pemerintah untuk meningkatkan produksi listrik dari sumber terbarukan,” kata Joko.

“Yang bisa kita lakukan adalah mulai mengintegrasikan pembangkit konvensional dengan pembangkit terbarukan, misalnya pembangkit batu bara di Kalimantan, dapat kita gabungkan dengan pembangkit tenaga bayu, agar produksi lebih banyak. Suplai yang ada sekarang belum cukup bagi seluruh pulau, karenanya masih butuh tambahan. Yang pasti, tak ada yang perlu ditakutkan karena kalau dari kami sendiri, GE sudah siap dengan peralatan, sistem manajemen energi dan sistem kontrolnya sehingga integrasi antar pembangkit dan dengan grid PLN tidak akan menemui masalah," tandas Joko.