Brilio.net - Kasus meninggalnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat mengawal proses Pemilu Serentak 2019 menjadi sorotan. Tak sedikit bahkan yang memberikan pandangan-pandangan janggalnya mengenai kasus ini. Bahkan kasus ini menjadi sorotan Ombudsman, di mana mereka menemukan dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak.

Dilansir dari liputan6.com, Rabu (26/6), Adrianus mengatakan, maladministrasi ditemukan karena penyelenggara pemilu hanya fokus kepada masalah teknis. Menurutnya, aturan soal kerja KPPS tidak memperhatikan tentang keselamatan kerja dan kesehatan petugas pemilu.

"Sebaliknya sedikit sekali hal yang dilakukan dalam aspek keselamatan kerja dan kesehatan petugas pemilu sebagai pemberi layanan," jelasnya.

Kasus ini kembali dikaji oleh Kajian Lintas Disiplin Universitas Gajah Mada (UGM) merilis hasil riset independen terkait dugaan kematian tidak wajar yang dialami kelompok petugas penyelenggara pemilu (KPPS) 2019 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rentang waktu penelitian dilakukan selama satu bulan sejak 20 Mei.

Dilansir dari liputan6.com, menurut data KPU Provinsi DIY, terdapat 12 jiwa yang meninggal dunia ketiga menjadi petugas KPPS. Kajian UGD kemudian menyimpulkan 10 petugas KPPS meninggal dipastikan karena alasan medis, dan jauh dari praduga kesimpangsiuran yang berkembang.

Data mencatat, sebesar 80 persen petugas KPPS meninggal dunia di DIY mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular, dan 90 persen dari mereka adalah perokok.

"Jadi seluruh kematian terjadi secara natural, dan tidak ditemukan indikasi adanya kekerasan maupun kejadian tidak wajar," jelas pria karib disapa Doni yang dilansir dari liputan6.com, Rabu (26/6).

Kajian UGM tak hanya menggunakan satu metode penelitian saja, di mana selain menggunakan metode otopsi verbal, mereka juga menggunakan metode survei TPS di 400 titik yang dinilai telah merepresentasi total 11.781 TPS di DIY.

Hasil dari pengambilan sample secara acak di lima kabupaten kota, Yogyakarta, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Bantul, ditemukan gejala kelebihan jam bekerja.

"Dari sample total 212 KPPS di DIY, baik yang sehat maupun sakit, 80% menilai tuntutan pekerjaan sebelum, saat, dan setelah tergolong tinggi. Mereka mengalami kelelahan, ditambah tak memiliki waktu istirahat cukup dan harus langsung melanjutkan aktivitas kerja formalnya di hari berikutnya," kata Doni.

Dari hasil yang sudah dilakukan, Kajian UGM berkesimpulan bahwa KPU dengan segala kompleksitas penyelenggaraan Pemilu serentak pertamanya belum menjalankan proses manajemen krisis yang efektif di tingkat bawah pada wilayah DIY. Sehingga, saat terjadi anomali, tim di lapangan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Kami juga berkesimpulan ada beban kerja terlalu tinggi dan riwayat penyakit KPPS sebelumnya, menjadi pemicu meningkatnya risiko kematian dan kesakitan," tuturnya.

Kajian Lintas Disiplin UGM belum memberikan masukan terhadap KPU atau Parlemen terkait hasil riset ini. Menurut mereka, diperlukan waktu, sumber daya, dan anggaran lebih untuk menyimpulkan temuannya sebagai jawaban atas apa yang menimpa KPPS dalam lingkup nasional.

Kajian Lintas Disiplin UGM ini terdiri dari tiga fakultas yang berisi para ahli setingkat Doktor dan Profesor, seperti DR. Erwan Agus Purwanto, M.Si. Fakultas Ilmu Sosial Politik, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., PhD., Sp.OG(K) dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK), dan Prof. Dr. Faturochman, M.A. dari Fakultas Psikologi.