Brilio.net - Mendengar nama Umbul Ponggok, yang langsung terbayang di kepala adalah destinasi wisata hits untuk foto-foto unik bawah air. Tempat yang airnya alami dan jernih ini memang menawarkan pengalaman langka karena bisa berselfie, wefie, foto couple, bahkan prewedding dengan properti tak lazim di bawah air. Ada vespa, motor sport, motor trail, motor matic, sepeda angin, televisi, hingga laptop. Ribuan ikan warna-warni yang berenang di sekitar properti, menjadikan hasil jepretan makin sempurna.

Jangan heran jika kolam alami dengan debit air 800 liter per detik ini dikunjungi 300-500 orang per hari. Bahkan pada hari libur bisa mencapai 3.000 orang dan lebih dari 5.000 orang ketika libur Lebaran. "Kita selalu melakukan inovasi unik dan kreatif," kata Public Relation Officer Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tirta Mandiri, Ardi, di Umbul Ponggok, Rabu (25/10).

Seorang pengunjung, Muhammad Ilham (25), menuturkan, berenang di Umbul Ponggok memberi pengalaman unik karena bisa berenang bersama ikan-ikan. "Tidak perlu harus ke laut," kata pria asal Makassar yang merantau di Yogyakarta ini.

Pada 1990-2000 kolam berukuran 50 x 25 meter itu hanya digunakan untuk mandi, mencuci, dan memelihara lumut pakan ikan. Periode 2000-2005 bekas water reservoir pabrik gula Ponggok ini dijadikan tempat budidaya ikan.

Peluang usaha yang lebih luas mulai ditangkap warga setelah umbul itu kerap dipakai sejumlah instansi untuk latihan menyelam pada periode2006-2008. Ada yang buka persewaan alat snorkling, fotografi, maupun warung makan.

Pada 2009 pemerintah desa lewat BUMDes Tirta Mandiri, mengelola secara profesional dengan melembagakan pebisnis perorangan ke dalam sistem investasi. Caranya, perlengkapan seperti sepatu katak, pelampung, snorkel, dikumpulkan ke BUMDes dengan perhitungan bisnis yang telah disepakati. Misalnya, satu pelampung nilainya Rp 200.000, sedangkan snorkel Rp 400.000.

"Per investor maksimal nilai alatnya Rp 25 juta. Kalau ternyata lebih dari itu, sisa lebihnya dibeli BUMDes," ujar salah satu warga yang ikut berinvestasi, Candra (58). Ia mengaku menginvestasikan pelampung, snorkel, dan kamera bawah air.

Menurutnya, saat itu hanya ada 15 orang yang ikut. Kemudian pada 2012 pihak BUMDes membuka kesempatan bagi warga lainnya untuk menanamkan modal Rp 5 juta per KK.

Mantan Ketua RW 2 itu mengaku mendapatkan bagi hasil antara Rp 400.000 – Rp 500.000 per bulan per nilai investasi Rp 5 juta. Sedangkan khusus untuk investasi kamera bawah air, bagi hasilnya berdasarkan nilai penyewaan. Candra mengaku mendapat bagian 28%.

Awalnya sedikit warga yang tertarik menanamkan modal Rp 5 juta dalam investasi dengan sistem kontrak 2 tahun itu. Sebab, belum adanya bukti untung dan khawatir ditipu pengelola.

"Sekarang ini yang jadi investor 600 KK, dari jumlah 700 KK di Desa Ponggok," kata Direktur Utama (Dirut) BUMDes Tirta Mandiri, Joko Winarno di Kantor Desa Ponggok, Kamis (26/10). "Kita tidak melibatkan investor dari luar karena ingin membangkitkan warga sendiri. Jadi, dari warga, oleh warga, dan untuk warga."

Hasil pengelolaan ini, miliaran rupiah tiap tahun mengucur dari umbul yang terletak 17 km dari pusat kota kota Klaten tersebut. Pada 2014 pendapatan BUMDes mencapai Rp 1,1 miliar, tahun 2015 sebesar Rp 6,2 miliar, tahun 2016 sejumlah Rp 10,3 miliar, dan pada tahun 2017 hingga September telah mencapai Rp 9,6 miliar.

"Sekitar 65% pendapatan BUMDes berasal dari pariwisata Umbul Ponggok dan Ponggok Ciblon (destinasi yang masih baru dibuka)," lanjut Joko. Dana miliaran rupiah ini dibagi kepada warga selaku investor dan ke kas desa untuk mendukung program pembangunan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Di luar passive income dari menanam saham, warga bisa dapat penghasilan tambahan dengan mengembangkan usaha lainnya yang juga difasilitasi desa. Ada 11 unit usaha yang dikelola BUMDes, di antaranya pariwisata, simpan pinjam, kolam perikanan, retail, rental mobil, dan homestay.

"Saya ikut investasi yang Rp 5 juta, tapi saya juga sewa kios di sini (Umbul Ponggok)," ujar Fety Londa (31), warga RT 1 RW 3 Desa Ponggok.

Di sana terdapat sekitar 26 kios yang disewakan Rp 2,5 juta per tahun per kios, tanpa ada biaya retribusi lainnya. "Dalam seminggu saya bisa mendapatkan Rp 600.000-Rp 700.000. Kalau dulu (sebelum dikelola BUMDes) hanya Rp 300.000 per minggu," sebut ibu dua anak ini. Kios-kios tersebut diatur semua, termasuk soal harga barang yang dijual agar harganya wajar.

Entaskan pengangguran

ponggok Istimewa

Ibu-ibu warga Ponggok membuat makanan dari olahan ikan/foto: brilio.net/fefy dh

Joko melanjutkan, unit-unit usaha BUMDes tidak hanya memberi peluang bisnis bagi warga, tapi secara langsung juga menyerap tenaga kerja. Ada 80 warga yang menjadi karyawan dan digaji sesuai UMK Klaten. "Jadi selain kita mengentaskan pengangguran, kita juga menekan urbanisasi," tukas dia.

Ibu-ibu rumah tangga juga diberdayakan melalui kemitraan PKK dengan BUMDes. Mereka membuat produk olahan ikan nila yang berbeda-beda jenisnya di tiap RW. Misalnya, stick duri ikan, pangsit nila, pastel abon nila, dan sebagainya.

"Alhamdulillah bisa membantu untuk mencukupi kebutuhan rumah," ujar Sri Suwahmi (59) warga RT 1 RW 2 Desa Ponggok. Dalam sehari, dia memperoleh Rp 25.000 sebagai tenaga pembuat pastel abon nila. Sayangnya, produksi belum bisa berjalan rutin tiap hari karena bergantung pada tingkat kunjungan di Umbul Ponggok. Sebab, kebutuhan pasokan paling banyak untuk bundling penjualan tiket di sana.

Di kelompoknya, ada sekitar 10 ibu-ibu yang bekerja. "Kalau tidak ada pekerjaan ini, ya sehari-hari di rumah saja. Jadi ini yang membantu keluarga," timpal pekerja lainnya Katrimah (55), warga RW 2.

Bahan baku olahan ikan diambil dari kolam desa yang dikelola warga setempat. Sekarang ini ada sekitar 100 kolam yang memakai tanah desa, kemudian disewakan ke warga.

"Selama ini kendala dari UMKM adalah pemasaran. Nah, dari BUMDes memfasilitasi hal itu dengan adanya retail untuk menjual dan bundling produk dengan tiket Umbul Ponggok (setiap beli tiket akan dapat produk makanan). Ini kenapa tiket Umbul Ponggok kita naikkan menjadi Rp 15.000," jelas Joko Winarno. Sebelumnya biaya masuk hanya Rp 3.000 saja.

Para pemuda juga ikut diberdayakan dengan menjadi pengurus properti persewaan, menjadi instruktur, maupun pemandu di umbul. Ada juga sebagai pengelola parkir. Di sana, terdapat dua jenis parkir, yakni yang dikelola umbul dan di bawah RW. "Parkir yang dikelola RW kebanyakan untuk mobil dan memang lebih mahal. Kalau di kita Rp 5.000, di mereka Rp 10.000," kata Koordinator Lapangan Umbul Ponggok, Maman.

Selisih harga ini terjadi karena untuk lahan parkir yang dikelola RW, hasilnya harus dibagi untuk kas RW, petugas parkir, dan pemilik lahan. "Besaran tarif Rp 10.000 tadi juga sudah sesuai kesepakatan bersama. Jadi semua seragam, tidak menentukan tarif sendiri-sendiri," jelasnya.

Dulu desa tertinggal, sekarang mandiri

Kepala Desa Ponggok Junaedi Mulyono menjelaskan, potensi desanya adalah sumber daya alam, khususnya air. Keunggulan inilah yang kemudian dikelola secara serius dengan membentuk BUMDes dan diiringi pelatihan sumber daya manusianya, sehingga bisa mengangkat perekonomian desa.

Fokus pembangunan ditetapakan pada pengentasan kemiskinan, ketimpangan sosial, dan membebaskan masyarakat dari jeratan rentenir. "Dampaknya, dulu termasuk daerah tertinggal, tapi sekarang bisa mencapai kemandirian," tegas Junaedi. Pada 2001 silam, Ponggok menyandang inpres desa tertinggal (IDT).

Pemerintah desa secara mandiri mampu mengalokasikan pembiayaan pembangunan infrastruktur, jaminan kesehatan, pendidikan, hingga jaminan sosial. "Kita punya program satu rumah, satu mahasiswa. Jadi tiap warga Ponggok yang kuliah, kita berikan bantuan Rp 300.000 per bulan yang kita transfer langsung," beber alumni UMS Surakarta itu. Dengan program ini diharapan akan ada banyak sarjana di desanya yang nanti ke depan bisa membantu menjalankan program-program desa.

"Ada juga program jaminan kesehatan desa, di mana semua warga tanpa kecuali, mendapat jaminan perawatan kesehatan untuk kelas 3," tutur Kades yang menjabat sejak 2006 ini. Untuk warga jompo, desa menyediakan dana jaminan sosial berupa uang lauk pauk senilai Rp 30.000 per bulan yang dirapel beberapa bulan sekali.

Tahun ini, total pendapatan desa wisata terbaik di Indonesia untuk kategori pemberdayaan masyarakat ini mencapai Rp 3,73 miliar. Sedangkan total anggaran belanja sebesar Rp 3,86 miliar yang digunakan 55,86% atau sekitar Rp 2,15 miliar untuk pembangunan desa dan 34,9% (Rp 1,34 miliar) untuk penyelenggaraan pemerintah desa. Sisanya, 5,07% (Rp 195,8 juta) untuk pembinaan kemasyarakatan, 3,77% (145,7 juta) untuk pemberdayaan masyarakat, dan 0,39% (Rp 15 juta) untuk dana tak terduga.