Brilio.net - Di tengah pandemi virus corona atau Covid-19, tim medis berjuang merawat pasien yang terinfeksi virus corona. Kehadiran mereka sekarang ini memang benar-benar sangat dibutuhkan.

Melihat kisah sedih dan perjuangan mereka dalam menangani pasien corona tentunya kita harus benar-benar menghargai itu. Tak hanya rela jauh dari keluarga, mereka juga rela membiarkan dirinya dalam situasi yang cukup mengerikan.

Banyak kisah mengharukan yang datang dari tim medis, salah satunya yang diceritakan seorang pengguna Facebook Ilalang Sukmabaskara. Dalam unggahannya ia menceritakan kisah sang adik Nina Susilowati yang dirawat di rumah sakit rujukan karena terpapar Covid-19.

Selama dirawat sebagai pasien PDP corona, ia mengalami banyak hal dan mendapatkan banyak pelajaran. Salah satu yang berharga adalah di mana Nina Susilowati melihat perjuangan tim medis dalam menangani setiap pasien dengan rasa khawatir yang cukup tinggi.

"Aku masuk ke RS Pasarminggu berdasarkan rujukan dari RSUD Kebayoran Lama. Hasil Rontgen thorax buruk, batuk kecil, demam lebih dari 38, dan gejala pneumonia. Alhasil masuk ruang isolasi itu," tulis Ilalang Sukmabaskara yang menceritakan kisah sang adik, Nina.

"Di sini malah ketahuan kalau ternyata mengidap kardiomegali. Maklum selama ini mengendalikan tensi dan gula darah keteteran. Jadi ini yang digarap duluan sama pneumonia nya. Klorokuin sempat minum 4 hari saja. Aku sudah swab lewat hidung 2 kali tapi sampai hari ini belum keluar hasilnya," tulisnya lagi.

Awalnya Nina kesal dengan sikap para perawat yang lamban dalam menangani pasien terlebih saat itu ia belum makan sama sekali.

"Saat pertama masuk ruang isolasi merana banget. Langsung dari IGD, belum bawa persiapan apa-apa. Boro-boro baju ganti, yang ada tinggal air 1/2 botol sedang. Perut sudah keroncongan. Sejak pagi hanya kemasukan sarapan bubur. Di IGD sesiangan. jam 17.00 WIB baru masuk kamar isolasi dan ditinggal," ceritanya.

"Jam 19.00 nekan bell mau bilang lapar dan tidak punya makanan. Tapi tidak ada yang datang. Jam 21.00 baru masuk paramedik memberikan konsumsi dan segelas air putih," timpalnya.

Saat itu Nina baru memahami bahwa perawat tidak bisa datang kapanpun dikarenakan keterbatasan APD. Rasanya sangat bosan berada di ruang isolasi. Sampai-sampai membuat dirinya menjadi orang yang tidak sabaran dan kesal karena hasil swab belum keluar.

Ditambah makanan dari rumah sakit benar-benar tidak enak menurut dirinya. Nina sampai mengancam akan kabur jika hasilnya tidak segera keluar. Namun ia menyesal telah melakukan itu.

"Cuma, sejak ancaman itu, aku jadi mikir keras lagi. Mereka, para perawat, suster, paramedik lain seperti petugas lab, sudah memenuhi tugas dengan baik. Mereka merawat kami sambil was-was tertular. Beberapa pas awal di isolasi bahkan aku merasakan mereka gemetaran. Bisa jadi karena takut tertular, tapi bisa jadi mereka kedinginan juga karena setiap masuk dan keluar tiap kamar dirinya disemprot desinfectan. Melas," ungkapnya.

Nina mulai menyadari betapa tim medis berjuang begitu keras untuk membantu setiap pasien. Mereka tidak boleh pulang, karena berpotensi menularkan Covid-19 pada keluarganya. Tidak bisa balik ke rumah atau indekost mereka dan hanya bertahan di hotel yang disediakan. Tidak ada yang bisa memastikan sampai kapan mereka akan terus seperti itu.

"Betapa paramedik ini telah mengorbankan waktunya tanpa batas. Bahkan menjadikan nyawanya demi merawat pasien suspect yang positif Covid," ujarnya.

"Pas ngobrol sama mereka ditengah visit singkat saat mengukur tensi darah dan suhu badan, teridentifikasi: ada yang meninggalkan anaknya usia 6 bulan, padahal baru menyusui. Ada penganten baru dan terpaksa ninggal pasangan. Ada yang meninggalkan anak-anaknya dengan orang tua," katanya lagi.

Tak hanya dipusingkan dengan penularan Covid-19 saja, mereka juga harus menghadapi berbagai pasien dengan latar belakang kesehatan yang berbeda. Ada suatu kejadian kala itu ketika Nina masih dirawat. Ia mendengarkan teriakan dari pasien, karena penasaran ia coba untuk mengintip.

"Tak lama terdengar pintu dibuka, dikunci kembali, dan suara berlarian menjauh. Rupanya para suster mengeluarkan satu pasien yang ketakutan, mengunci kamar itu kembali dan langsung kabur semua karena tidak ada satupun yang mengenakan APD," katanya.

"Kudengar dari jauh mereka minta pasien yang dikeluarkan untuk tidak beranjak dari tempatnya sampai mereka siap. Siap pakai APD. Bukan persoalan sederhana APD ini. Dari baju, sepatu khusus, google dan perisai muka," timpalnya lagi.

Setelah ia menanyakan pada seorang perawat pada saat memeriksa dirinya, barulah ia tahu mengenai permasalahan itu.

"Teriakan berulang terus, sesekali ditingkahi gebrakan-gebrakan. Aku menduga pasien itu diikat ke tempat tidurnya dan meradang.
Dhuh penasaran betul, ada apa sebenarnya. Akhirnya saat visit perawat jam 23.00 malam aku mendapat jawaban," katanya.

"Kamar sebelah dihuni oleh dua orang perempuan muda. Yang teriak-teriak itu rupanya punya delusi kalau pasien satunya punya pisau dan mendekatinya. Itulah pangkal kehebohan. Jadi dia mengejar pasien satunya yang jadi ketakutan luarbiasa, dan itulah yang membuat perawat mengeluarkan dulu pasien tertuduh bawa pisau ini, meski kemudian mereka kabur untuk ber APD," sambungnya lagi.

Tak hanya itu, kisah perawat saat berjibaku menangani pasien Corona yang satu kamar dengan Nina. Di mana pada akhirnya dua teman sekamarnya itu meninggal. Postingan ini pun mendapat respons dari warganet. Diunggah pada Senin (13/4), unggahan ini sudah dibagikan ribuan dan ratusan komentar.

Melihat kondisi seperti ini harusnya membuat kita sadar untuk lebih menjaga diri sendiri dan mengurangi beban para medis. Memang merawat orang sakit adalah tugas mereka, namun di tengah pandemi corona seperti sekarang ini, siapapun akan was-was.

Merawat dan kemudian berpotensi menjadi pasien bukanlah keinginan para tim medis. Mereka juga ingin sehat dan bisa berkumpul dengan keluarga. Menjalani aktivitas normal dengan keluarganya.