Brilio.net - Setiap musim panas, Kota Riviera di Prancis selalu dipadai para turis yang ingin menikmati hangatnya paparan sinar matahari sambil menikmati kentang dan menghirup rose. Pantai-pantai di kota abad pertengahan ini memang dikenal sebagai tempat terbaik untuk ‘mandi matahari’.

Tapi, terpaan sinar matahari di Riviera telah memberi alasan yang berbeda bagi para ilmuwan untuk mengembangkan energi listrik. Sekarang ini, Riviera telah memiliki grid surya cerdas pertama di dunia, sebuah sistem yang suatu saat bisa memungkinkan kota menghasilkan lebih banyak energi terbarukan yang lebih dekat dengan pelanggan.

Bekerja sama dengan GE, modernisasi grid dilakukan dengan perangkat lunak dan saklar otomatis, menempatkan panel surya di lebih dari 500 bangunan dan memasang baterai terpusat 1 megawatt untuk menyimpan dan melepaskan kelebihan listrik. Hasilnya adalah smart grid yang bisa lebih fleksibel dan efisien dalam mengirim daya ke grid, sebagaimana dilansir brilio.net dari laman GE Reports Indonesia, Selasa (27/6).

Berlebihnya pasokan listrik di Riviera ini bisa dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan jaringan listrik yang saling terhubung di negara-negara Eropa. Interkoneksi listrik tersebut bertujuan untuk memastikan pasokan energi yang stabil dan berkelanjutan.

Sekarang ini, di Eropa terdapat isu yang tak kalah penting dari Brexit untuk dibahas, yakni terkait sumber energi yang dapat diandalkan. Menurut, Gerhard Seyrling, General Manager Grid Automation, GE Energy Connections dan Presiden T&D Eropa, hal yang bisa dilakukan adalah dengan membuka perbatasan melalui aliran listrik serta memanfaatkan sumber energi terbarukan agar mudah diakses. Dan listrik di Riviera adalah contohnya.

Uni Eropa telah mengoptimalkan sumber daya dan menargetkan pada tahun 2020 sebesar 10 persen kapasitas listrik yang saling terhubung. Sementara pada tahun 2030 memasang target 15 persen. Target tersebut sama halnya dengan mengharuskan semua negara di Uni Eropa untuk memiliki sistem transmisi yang dapat menghantarkan listrik melintasi perbatasan. Merujuk pada data Commission disebutkan terdapat 22 negara Uni Eropa yang masuk dalam jalur yang ingin dicapai listrik interkoneksi. Namun demikian, masih membutuhkan banyak sistem transmisi.

Tidak semua koneksi aliran listrik membutuhkan teknologi sistem interkoneksi yang sama dengan teknologi High Voltage Direct Current (HVDC) atau aliran listrik searah bertegangan tinggi. HVDC sendiri merupakan tegangan yang bisa membawa listrik dengan jarak lebih jauh.

Di antara proyek HVDC sedang direncanakan dibangun di Jerman dengan memanfaatkan angin lepas pantai. Proyek tersebut telah dilakukan di Prancis-Italia atau disebut France-Italy Link (FIL) yang menghubungkan kawasan Pengunungan Alpen. Hal tersebut dirasa mampu menjadi proyek masa depan dengan teknologi yang lebih kompleks.

Tak sekadar membangun sistem aliran listrik interkoneksi, Uni Eropa juga harus memperkuat efisiensi energi dan de-karbonisasi. Proyek sistem listrik interkoneksi ini memiliki potensi yang luar biasa dengan sumber energi dari angin dan matahari.

Eropa memiliki ambisi untuk menjadi pemimpin pengembangan listrik interkoneksi. Hal tersebut didukung dengan peralatan dan pengelolaan jaringan yang terdepan. Industri pengembangan ini telah dimulai Eropa dan mampu mewakili pasar senilai EUR 25 miliar atau setara dengan Rp 374,7 triliun. Bukan hanya itu, lebih dari 200 ribu orang bekerja di industri tersebut dan tersebar di seluruh benua. Kunci kesuksesan industri T&D adalah terletak dari inovasi yang terus mengalir.

Bagi Gerhard, ia melihat masa depan di mana negara-negara di Uni Eropa saling terhubung. Ia membayangkan sebuah sistem yang mampu melakukan pertukaran listrik sepanjang perbatasan Afrika Utara. Sumber energi yang digunakan tentu matahari dan angin. Ia pun memprediksi akan meluas hingga ke Rusia dan China.