Brilio.net - Serentetan aksi teror terjadi di Tanah Air beberapa waktu ini. Mulai aksi kerusuhan napi teroris di Mako Brimob, pengeboman di Surabaya, dan penyerangan Mapolda Riau. Indonesia pun menyatakan perang melawan terorisme.

Para pelakunya ini umumnya menganut paham martyrdom yang meyakini adanya balasan kemuliaan ketika membela agama. Menurut mereka wajib hukumnya menegakkan negara yang berbasis syariat Islam. Di mata mereka, Indonesia adalah negara kafir. Karena itu wajib bagi mereka untuk menumbangkan negara ini lalu menegakkan negara baru yang diyakini sebagai negara Islam.

Pakar terorisme UGM, Muhammad Najib Azca menyebut kepentingan politik kelompok radikal ini tidak ada hubungannya dengan Pemilihan Umum Presiden 2019. Menurutnya, kelompok teroris ini menolak terlibat dalam kontestasi politik demokrati. Sebab bagi mereka demokrasi itu thogut dan anti-Islam. Mereka hanya menghendaki perubahan sosial politik secara radikal.

Radikalisme merupakan lawan dari konservatisme. Radikalisme menghendaki perubahan secara radikal dalam tata sosial. Radikalisme bisa dalam bentuk damai maupun kekerasan. Konservatisme merupakan cara pandang perlunya pemeliharaan terhadap tata sosial. Sedangkan terorisme merupakan salah satu bentuk dari radikalisme. Terorisme adalah cara yang membenarkan kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan politik. Terorisme bisa terinspirasi dari agama, komunisme, sosialisme, rasisme. Namun yang saat ini berkembang adalah yang dipengaruhi oleh agama.

"Dalam kasus Indonesia tampaknya tidak terlalu menonjol ideologi radikal yang menggunakan rasisme sebagai salah satu elemennya. Dulu terjadi kekerasan terhadap kelompok etnis China, tapi tidak sampai memupuk dalam satu gerakan ideologi," paparnya saat ditemui brilio.net beberapa waktu lalu.

Akar sejarah radikalisme kekerasan di Indonesia yang terjadi saat ini berasal dari gerakan berbasis agama yaitu Darul Islam. Akan tetapi radikalisme tidak hanya berasal kelompok Islam, ada pula radikalisme kiri. Misalnya komunis yang menghendaki perubahan radikal dengan cara radikal.

Ada banyak variabel yang menjadi konteks kemunculan kelompok teroris ini, antara lain dimensi internasional, domestik, konteks sejarah, transformasi politik seiring perubahan rezim atau sistem politik. Mereka ini adalah kelompok masyarakat yang memiliki ketidakpercayaan terhadap apa yang dilakukan pemerintah.

Radikalisme ini meskipun tidak mudah diberantas, namun bukan berarti tak bisa diredam. Dalam sejarah dapat dilihat bahwa radikalisme teroris ini merupakan kelompok kecil yang sesungguhnya terkalahkan dalam pertarungan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Namun mereka tetap eksis dengan cara kekerasan. Mereka tidak pernah menjadi kelompok yang dominan di wilayah tertentu.

Lanjut Najib, ada perubahan sasaran teroris dulu dengan saat ini. Dulu cenderung melawan simbol-simbol kekuasaan barat saat Al Qaida memegang kendali kekerasan terorisme global, lalu bertransformasi ke sasaran-sasaran lokal saat ini yang berasal dari doktrin ISIS. Namun, bom Surabaya dapat dipandang sebagai fase baru terorisme sebab adanya pelibatan keluarga secara utuh.

"Kontra terorisme adalah mencegah ideologi radikalisme ke kelompok yang belum terpapar idelogi terorisme. Ini harus lebih massif lagi karena kelompok ini luas. Oleh karena itu sangat penting menghadang gerakan terorisme ini," tutur alumnus University of Amsterdam Belanda ini.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, misalnya di level individu perlu semakin berhati-hati dengan kemungkinan penyebaran konten-konten radikal melalui dunia digital yang sangat massif. Lalu di level keluarga, perlu dibuka pintu dialog yang luas. Agar meminimalisir direkrut gerakan-gerakan radikalisme teroris.