Brilio.net - Perbedaan pendapat dan argumen di tempat kerja pasti sering dialami pekerja kantoran. Para profesional dari Human Resources Departement (HRD) sering bertindak sebagai mediator dalam permasalahan di kantor.
 
Dari berbagai kepribadian karyawan dan gaya kerja yang berbeda hingga politik kantor yang berbahaya, para profesional HR harus mampu menyelesaikan semua bentuk konflik di kantor secara damai.
 
Manajemen konflik sendiri merupakan salah satu keterampilan terpenting yang harus dimiliki HRD untuk menangani dan menyelesaikan konflik. Mereka harus menarik bertindak secara efisien, adil, dan masuk akal tanpa memihak.

Berikut lima cara menangani konflik di tempat kerja seperti dikutip dari siaran pers JobStreet yang brilio.net terima, Jumat (4/1).
 
1. Telinga yang mendengarkan.

Kantor © 2019 brilio.net

foto: magazine.job-like.com


Ketika menyelesaikan masalah di tempat kerja, penting untuk memahami akar penyebab konflik. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertemukan kedua belah pihak secara terpisah. Hal tersebut untuk menjaga kerahasiaan atau konfidensial serta berbicara kepada pihak yang dirugikan.

Selain memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melampiaskan permasalahan, HRD juga mendapat informasi mendalam tentang akar penyebab masalah yang mendasarinya. Dari situlah, rencana dan tindakan dapat dibuat untuk menyelesaikan masalah secara damai untuk kedua belah pihak.

Kadang-kadang, konflik dapat dengan mudah diselesaikan dengan memberikan pihak yang dirugikan sebuah kesempatan untuk mendiskusikan masalahnya.
 
2. Menjaga pintu tetap terbuka.

Kantor © 2019 brilio.net

foto: magazine.job-like.com


Pihak yang dirugikan bisa merasa sangat frustasi ketika mengangkat sebuah masalah kepada HRD hanya untuk diabaikan atau diminta pergi. HRD sering berurusan dengan banyak permintaan dalam satu waktu dan mungkin tergoda untuk mengabaikan keluhan karyawan karena menganggap itu hanya keluhan biasa. Dalam banyak situasi, para profesional HR dianggap "lepas" (disconnected) dari tenaga kerja yang seharusnya mereka wakili.
 
Hal ini sebaiknya tidak terjadi karena karyawan yang tidak bahagia dapat dengan mudah kehilangan motivasi yang dalam jangka panjang akan menjadi karyawan yang beracun (toxic employees) dan turnover karyawan menjadi lebih tinggi. Karyawan beracun tidak hanya sulit diatur, tetapi mereka juga mampu menabur ketidakharmonisan dalam perusahaan yang dapat menyebabkan masalah yang jauh lebih besar.
 
Oleh karena itu, para profesional HR harus mengadopsi kebijakan pintu terbuka (open door policy) ketika berhadapan dengan karyawan. Hal ini tidak hanya mengirim pesan positif kepada karyawan yang lain, tetapi juga menjaga agar HRD tetap mendengarkan apa yang terjadi di lapangan. Dengan demikian, HRD akan dapat dengan mudah mengidentifikasi karyawan yang bermasalah atau masalah lainnya terkait manajemen talent di dalam perusahaan.
 
3. Objektif dalam menilai masalah.

Kantor © 2019 brilio.net

foto: magazine.job-like.com


HRD biasanya merupakan tempat perlindungan terakhir bagi karyawan. Kita menyadari bahwa tidak ada yang suka mengunjungi departemen HR. Dengan demikian, ketika menyelesaikan konflik di tempat kerja, para profesional HR harus benar-benar tidak bias dan objektif setiap saat terlepas dari keadaan konflik.
 
Di negara-negara Asia, ada aturan tak tertulis di antara karyawan bahwa staf junior akan selalu diminta untuk menyerah ketika berurusan dengan staf yang lebih senior. Seringkali, ini dapat mengakibatkan perundungan di tempat kerja di mana karyawan yang lebih senior menyalahgunakan wewenangnya untuk mengintimidasi atau merepotkan karyawan junior.

Daripada menyalahkan karyawan junior demi staf yang lebih senior, profesional HR harus bertemu dengan kedua belah pihak secara terpisah untuk lebih memahami masalah yang dihadapi. Jika karyawan senior bersalah, profesional HR harus menghadapinya secara langsung dan memberi tahu mereka bahwa diperlukan perubahan perilaku.
 
4. Fokus pada masalah bukan orangnya.

Kantor © 2019 brilio.net

foto: magazine.job-like.com


Ketika berhadapan dengan masalah yang sangat menjengkelkan atau karyawan yang sulit, bahkan profesional HR yang paling berpengalaman pun akan kesulitan menjaga ketenangannya dan mungkin tergoda untuk bereaksi dengan cara yang negatif. Namun, menjaga emosi tetap stabil sangatlah penting ketika menyelesaikan konflik.
 
Para profesional HR harus selalu mengingat bahwa perilaku atau tindakan negatif tidak selalu merupakan hasil dari niat jelek atau jahat, perilaku seperti itu bisa jadi hasil dari rasa takut, kebingungan, kemarahan, dan kebiasaan. Jadi, ketika bertemu dengan pihak yang terlibat, selalu ingat untuk tetap tenang dan berkepala dingin jika situasinya menjadi berat.
 
5. Mengetahui kapan harus menyerah.

Kantor © 2019 brilio.net

foto: magazine.job-like.com


Ada saatnya setelah meminta penyelesaian dengan manajer HR yang paling terampil atau berpengalaman dan menemukan jalan buntu. Profesional HR mungkin berurusan dengan individu yang memiliki masalah psikologis hingga memerlukan bantuan ahli lain. Sebaliknya, ada pula orang yang justru tak ingin berkepanjangan dengan masalah dan akhirnya memilih menyerah tanpa menyelesaikan konflik.