Brilio.net - Seiring landainya kasus Covid di Tanah Air, beberapa sekolah sudah memberlakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) pada awal September lalu. PTM terbatas diizinkan dengan syarat khusus, yakni daerah yang status PPKM-nya masuk level 2 dan 3, termasuk wilayah Jawa-Bali.

Meski wajib berlangsung dengan protokol kesehatan yang ketat, kenyataannya PTM masih menimbulkan keresahan bagi para orang tua. Di satu sisi, diakui pembelajaran jarak jauh membuat kualitas pendidikan anak menurun. Tapi di sisi lain, interaksi fisik saat PTM dikhawatirkan menjadi media penularan Covid-19 di lingkungan sekolah.

Hal itu pun dirasakan oleh artis sekaligus orang tua, Zee Zee Shahab, mengakui pembelajaran jarak jauh yang berlangsung hampir dua tahun ini bukan metode yang ideal.

“Anakku yang pertama umur 8 tahun, masuk SD kelas 1 pas pandemi. Dia sampai nggak tahu nama teman-teman kelasnya. Sekarang dia jadi suka gampangin masalah. Kalau gak bisa, aku tinggal googling atau panggil mommy aja,” ucap Zee Zee dalam Webinar Makuku Family bertajuk ‘Kesiapan Orang Tua dan Anak Menjalani PTM’ baru-baru ini.

Meski belajar di rumah banyak kelemahan, namun Zee Zee belum siap melepas anaknya kembali ke sekolah. Sebab ia melihat konsekuensinya bila melihat anaknya berkontak langsung dengan banyak orang.

“Untuk sekarang sekolah online lebih baik. Aku termasuk orang tua yang agak overthingking, sampai saat ini belum kasih izin. Kalau anak SMP atau SMA mungkin sudah mengerti protokol kesehatan, bagaimana sosialisasi di masa pandemi,” ucap Zee Zee.

“Tapi kalau SD belum waktunya ya, karena kalau ketemu teman-teman euforianya beda. Bisa langsung lepas masker dan lupa jaga jarak,” sambungnya.

Sementara itu, Dokter Spesialis Anak dari Makuku Family, dr Andreas mengatakan bahwa metode belajar di rumah menimbulkan stress, tidak hanya pada anak tapi juga orang tua. Tapi untuk menggelar PTM sekarang, Andreas melihatnya sebagai kebijakan yang terburu-buru.

Sekolah tatap muka © 2021 brilio.net

“Keputusan PTM diambil pemerintah setelah melihat kasus positif dan angka kematiannya sudah turun. Tapi perlu diingat bahwa cakupan vaksinasi anak usia 12-18 tahun di Indonesia belum sampai 80 persen. Masalahnya lagi, ketersediaan fasilitas tes PCR di daerah belum sama banyaknya dengan di Jabodetabek. Ini harus hati-hati juga,” tuturnya.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah kesiapan sekolah, baik mengenai protokol kesehatan hingga mental para guru.

“Sekolah wajib menjaga prokes, dan kesiapannya bukan cuma soal wastafel atau ruang kelas. Tapi kesiapan mental guru-guru menghadapi anak yang ricuh dan tidak mengikuti protokol kesehatan. Siapkah gurunya?” tanya dr. Andreas.

Hal yang tak kalah penting, pastikan semua sarana dan prasarana sekolah siap untuk kondisi darurat, misalnya ketika tiba-tiba ada anak yang demam saat di sekolah.

“Di pihak orang tua, juga harus memastikan anak selalu mematuhi protokol kesehatan. Bagaimana pakai maskernya, harus benar-benar diajari jangan cuma menyuruh,” tambahnya.

Menurutnya, saat PTM sudah berjalan efektif, orang tua harus tahu gejala infeksi virus corona pada anak.

“Kasus Covid-19 pada anak seringkali tidak langsung ketahuan seperti orang dewasa. Gejalanya ringan seperti tiba-tiba lemas, bahkan demamnya pun tidak terlalu tinggi. Ini yang perlu diperhatikan saat tatap muka nanti,” pungkasnya.