Brilio.net - Pemilu tahun 2014 lalu diikuti total 14 partai. Selama pemilu banyak tokoh-tokoh bermunculan di media mewakili partai tertentu. Namun setelah itu, identitas tokoh yang sempat muncul di media berubah mewakili partai lain dengan kurun waktu tak terlalu lama. Kenapa bisa demikian?

Sebut saja ketua umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Hary Tanoesoedibjo, langkah politiknya cukup zig zag. Pada tahun 2011, ia sempat tergabung dalam Partai Nasional Demokrat (NasDem), sebagai sebagai Ketua Dewan Pakar dan juga Wakil Ketua Majelis Nasional. Pada tahun 2013, ia memilih bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), sebagai Ketua Dewan Pertimbangan. Setelah itu, ia menjadi Badan Pemenang Pemilu (Bapilu), dan sempat mendeklarasikan diri sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Wiranto, meski akhirnya gagal. Pada tahun 2015 ia mengumumkan pendirian Partai Persatuan Indonesia (Perindo), yang dulunya menjadi sebagai ormas pada tahun 2013.

Fenomena langkah zig zag ini tidak hanya dilakukan Hary Tanoesudibjo. Aktor politik lain seperti Dede Yusuf yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi IX (Tenaga Kerja, Kependudukan, Kesehatan) DPR RI periode 2014-2019 juga terekam zig zag dalam memilih jalan politik. Ia meninggalkan Partai Amanat Nasional (PAN) yang membesarkannya hingga menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat, lalu memilih masuk Partai Demokrat pada tahun 2013.

Tokoh politik lain yang melakukan langkah zig zag yakni Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Muhammad Zainul Madji, memilih pindah dari PAN ke Demokrat. Ketua DPP Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), Ali Mochtar, juga memilih pindah dari Partai Bulan Bintang (PBB), ke Partai Golongan Karya (Golkar).

Bagaimana bisa seorang tokoh politik bergonta-ganti ideologi partai politik dengan mudahnya? Padahal sejatinya sebuah partai politik mempunyai ideologi sendiri yang digunakan untuk berporoses dalam arus politik demi mendapatkan kekuasaan. Apakah langkah zig zag ini mempunyai maksud tertentu?

Dikutip dari lipi.go.id, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Arif Wibowo, menyatakan "Pindahnya kepala daerah dari satu partai ke partai lain lebih karena motif penguatan status quo kepentingan pribadi ketimbang konflik ideologi," katanya.

Jika itu benar, maka ideologi partai akan dilupakan dan politisi hanya akan berfokus pada tujuan bergabung di partai politik untuk kekuasaan saja.

Langkah zig zag tokoh politik ini bukan tanpa sebab. Ada faktor tertentu yang membukakan pintu fenomena ini terjadi. Pertama, karena partai politik belum punya aturan internal yang kuat bagi para anggotanya. Perpindahan para tokoh politik ini terlepas dari aturan undang-undang, sehingga tidak ada alasan yang mengharuskan seorang tokoh politik tetap tinggal dalam satu partai politik.

Kedua, karena di sistem pemilihan langsung, kekuatan individu lebih besar daripada partai politik. Sebut saja Dede Yusuf, secara personal ia cukup disegani masyarakat dan juga disukai karena sempat menjadi aktor film. Maka berkat pesona personal, ia mempunyai alasan kuat untuk berani hengkang dari partai politik dengan mudahnya. Meski hal ini akan meninggalkan kesan bahwa popularitaslah yang penting, bukan kualitas.

Tentu saja langkah zig zag para tokoh politik menimbulkan efek buruk pada dinamika perpolitikan Indonesia. Pasalnya, jika hal ini terlalu sering terjadi, maka masyarakat akan mempertanyakan loyalitas tokoh politik tersebut. Hal ini berkaitan dengan ideologi mereka yang sering ganti, akankah loyalitas kepada kepentingan negara akan berkurang? Selain itu, melihat fenomena perpindahan tokoh politik dan langsung mendapat jabatan tertentu, maka akan menganggu proses kaderisasi partai politik.

Bagaimana sistem penerimaan kader-kader politik dan bagaimana seharusnya sistem kekuasaan di dalam partai politik itu sendiri. Jika hal ini terus terjadi, maka kekuatan partai politik akan mandul, dan mungkin tidak punya citra di depan kader partai politik itu sendiri.

Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu adanya pembenahan di sistem perpolitikan dan di dalam partai politik itu sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh anggota Komisi II DPR, Abdul Malik Haramain, "Fenomena ini tidak baik untuk pendidikan politik. Harus ada aturan internal parpol dalam mekanisme pencalonan pejabat publik," katanya sebagaimana dikutip dari laman LIPI. Selain itu partai politik harus mulai memilih kader secara teliti dan berkualitas, dan biarkan publik menilai.