Brilio.net - Kamu mungkin penasaran, kenapa harga barang di supermarket maupun department store cenderung menggunakan angka berakhiran 9. Misalnya saja harga sebuah baju tertulis Rp 199 ribu bukannya Rp 200 ribu.

Nah, permainan harga ini banyak disebut sebagai harga psikologis. Orang yang melihat angka 199 akan cenderung menganggap harga lebih dekat ke Rp 100 ribu daripada Rp 200 ribu. Padahal sebenarnya anggapan tersebut salah total. Namun itulah harga psikologis yang memang sulit untuk diketahui secara nalar.

Bagaimana asal-usul harga psikologis ini sampai saat ini masih belum pasti. Banyak orang yang berpandangan harga psikologis muncul pada akhir abad 19 karena persaingan harga koran di Amerika Serikat.

Ada pula penilaian bahwa harga ini dibuat sebagai cara untuk menangkal pegawai yang hendak mencuri uang di kasir. Untuk transaksi dengan harga bulat memungkinkan pegawai tidak menggunakan mesin kasir untuk sebuah transaksi. Cara ini berpotensi menimbulkan kecurangan dari pegawai. Namun dengan angka harga yang tidak bulat, pegawai di bagian kasir harus membuka mesin kasir untuk melakukan transaksi terutama pengembalian uang. Hal ini tentu meminimalkan pegawai mengambil uang karena semua transaksi tercatat di mesin kasir.

Namun demikian, orang yang dianggap paling pertama mempopulerkan harga psikologis ini adalah Tomas Bata, pendiri pabrik sepatu Bata di Cekoslovakia (sekarang sudah berpisah menjadi Rep Ceko dan Slovakia). Tomas Bata pertama kali menggunakan harga berakhiran angka 9 pada 1920 dan digunakan di toko sepatu Bata seluruh dunia termasuk di Indonesia. Bata juga memiliki pabrik sepatu yang besar di Indonesia di kawasan Kalibata, Jakarta.

Itulah mengapa harga psikologis itu juga dinamai dengan Batovska Cena atau Harga Bata. Sampai sekarang harga ini masih digunakan di semua toko sepatu Bata.