Brilio.net - Baru-baru ini masyarakat Indonesia begitu bangga setelah Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir mempersembahkan medali emas dari cabang bulutangkis di perhelatan Olimpiade Rio 2016, Brasil. Mereka pun disambut suka cita di Tanah Air. Nggak cuma itu, mereka juga masing-masing diganjar bonus Rp 5 miliar. Itu belum termasuk honor lain yang mereka terima dari sejumlah pihak, dan tentunya gaji Rp 20 juta seumur hidup. Menjanjikan bukan?

Tapi, guyuran bonus dan popularitas nggak membuat pasangan Susi Susanti dan Alan Budikusuma lantas menyuruh anaknya menjadi atlet, khususnya bulutangkis. Intinya, mereka nggak mau sang buah hati mengikuti jejak mereka. Lho kenapa?

Pasangan peraih dua medali emas di Olimpiade Barcelona 1992 silam tersebut rupanya masih melihat atlet tidak memiliki masa depan yang cerah. “Dalam sebuah pertemuan dengan menteri (Menteri Pemuda dan Olahraga), Susi Susanti mengatakan bahwa dia tidak ingin anaknya mengikuti jejak kedua orang tua untuk menjadi atlet,” ujar Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga, Gatot S Dewa Broto, saat menghadiri jumpa pers SIRNAS-MILO School Competition, Kamis (25/8).

Susi Susanti © 2016 brilio.net

Susi Susanti saat masih berjaya/istimewa

“Jangan hanya lihat saya, tapi juga lihat atlet lain,” kata Gatot menirukan ucapan Susi, disaksikan Ricky Soebagdja yang sekarang menjadi Kepala Sub Bidang Pelatnas PP PBSI.

Gatot mengakui dibanding sejumlah negara, perhatian kepada atlet di Indonesia memang masih rendah. Pembinaannya pun masih perlu ditingkatkan. Menurutnya, di tingkat kategori usia, secara umum atlet Indonesia banyak menuai prestasi di ajang internasional. Namun saat dewasa, khususnya menjelang masuk universitas, mereka harus memilih apakah terus menjadi atlet atau tidak. “Orang tua masih banyak yang meragukan masa depan seorang atlet,” kata Gatot.

 

Susi Susanti © 2016 brilio.net

Salah satu legenda bulutangkis Tanah Air Ricky Subagja. © 2016 brilio.net/islahudin


Gatot meyakinkan bahwa sebenarnya masa depan atlet cerah. Dia juga meminta semua pihak untuk terlibat dalam pembinaan, baik dengan rutin menggelar kejuaraan atau yang lainnya. Sementara itu Ricky melihat saat ini pembinaan usia dini seperti Milo School Competition dan lainnya bisa menjadi wadah tumbuhnya bibit-bibit atlet berkualitas di masa mendatang.

“Saya sangat senang kualitas kompetisi ini (Milo School Competition) senantiasa meningkat setiap tahunnya. Setelah tahun lalu menerapkan poin ranking nasional, tahun ini hadir dengan standar sirkuit nasional,” ungkap Ricky.

Ya mudah-mudahan saja pemerintah lebih memperhatikan nasib para atlet ya.