Oleh: Titis Widyatmoko*

Brilio.net - Setiap bangsa memainkan sepakbola dengan cara sama tetapi gaya berbeda. Skema mengikuti satu sama lain, walakin saat bermain dipengaruhi imajinasi inventif maupun keterampilan khusus.

Dalam bukunya Il Gioco Piu Bello del Mondo (Permainan Paling Indah di Dunia), Gianni Brera mengurai banyak faktor yang membuat beda gaya permainan yaitu etnis, ekonomi, iklim, peradaban, termasuk yang paling sederhana cara memperlakukan rumput lapangan.

Gaya pula bergerak mengikuti zaman. Dulu abad 19, sepakbola hanya mengenal strategi menyerang sehingga formasi bisa berupa 1–1–8 atau 1–2–7, ada pula 2–2–6. Kini angka besar berpindah ke depan menjadi 4-3-3, 5-3-2 atau 4-4-2 seiring penemuan sistem bertahan.

Sejak sepakbola disebar orang Inggris ke seluruh dunia hingga sebelum Perang Dunia II, ada tiga rumpun besar gaya permainan. Pertama rumpun Inggris dan Nordik, kedua rumpun Amerika Selatan, terakhir rumpun Danubian.

Rumpun ini berkembang ke berbagai subkultur. Dari rumpun Inggris dan Nordik ada subkultur Skandinavia, Jerman, Baltik-Rusia; dari rumpun Amerika Selatan ada subkultur Argentina, Uruguay, Brasil; begitu pula rumpun Danubian melahirkan subkultur Hungaria, Ceko, Austria, dan Yugoslavia.

Rumpun Danubian menghasilkan tim kuat seperti Hungaria dan Austria pada akhir 1920-an. Ketika itu Hugo Meisl yang melatih Wunderteam Austria memopulerkan pola 2-3-5. Patron itu kemudian dimodifikasi Vittorio Pozzo, pelatih timnas Italia tahun 1930-an menjadi 2-3-2-3.

Pozzo menyadari bek tengahnya butuh banyak dukungan agar unggul dari lini tengah lawan. Maka dia menarik dua dari lima penyerang turun ke depan lini tengah. Ini menciptakan pertahanan lebih kuat dari sistem sebelumnya, selain memungkinkan serangan balik efektif. Di bawah Pozzo, tim nasional Italia memenangkan Piala Dunia berturut-turut pada 1934 dan 1938 mengapit emas Olimpiade 1936.

Tim asuhan Pozzo itu embrio identitas bertahan dengan mengandalkan fisikalitas dan daya tempur. Meskipun secara teknik kurang brilian dibanding rival Eropanya, sepakbola Italia mengompensasi dengan kekuatan fisik pemainnya.

Anak asuh Pozzo menjadi eksponen paling awal strategi man to man marking. "Tanda bahwa sepak bola menjadi bukan hanya tentang sebuah tim yang memainkan permainannya sendiri, tetapi juga berkenaan menghentikan permainan lawan," tulis Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid (halaman 70).

Sejarah prestasi sepakbola tidak bisa lepas dari bagaimana mereka menemukan model sukses kemudian mengemulasinya. Belanda (total football), Brasil (joga bonito), Spanyol (tiki taka) sebagai contoh, seperti itu pula Italia.

Satu pemain Pozzo di Piala Dunia 1934, Nereo Rocco meneruskan strategi bertahan diawali ketika melatih Triestina pada 1947 kemudian berlanjut ke Padova. Strategi bertahan ternyata cocok diterapkan tim kecil dengan hasil melambungkan Triestina dan Padova di antara raksasa Serie A. Bersama Gipo Viani pelatih Salernitana, Rocco kemudian disebut pencetus awal Catenaccio. Belakangan strategi itu dipopulerkan Helenio Herrera.

Rocco dan Viani memimpin tim nasional Italia di Olimpiade 1960 Roma dan sejak tahun itu dapat dikatakan Italia memiliki identitas sendiri. Modul sepakbola bertahan Italia secara bertahap diadopsi di seluruh dunia. Jarang ada negara yang punya identitas dalam permainan sepakbola sekuat Italia.

Italia yang kolot dengan kemampuan bertahan sangat tangguh diemulasikan pada semifinal Euro 2020 melawan Spanyol. Meski sepanjang turnamen mempertontonkan gaya menyerang atraktif, pertahanan Italia yang digalang Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci tak kunjung ditembus Spanyol. Padahal Spanyol habis-habisan menggempur.

Menambah bumbu keistimewaan Italia selain pertahanan kokoh, ada pada kehadiran Oriundi, orang Italia yang besar di Amerika Latin. Sekitar 40 Oriundi memiliki lebih dari 350 caps untuk Gli Azzurri.

Nyaris pada setiap sukses Italia di turnamen besar, mereka membawa Oriundi. Tahun ini, mereka punya Jorginho, Emerson Palmieri, dan Rafael Toloi.

Kuat dengan identitas rumpun Danubian, sepakbola Italia makin berwarna oleh pemain-pemain dari rumpun Amerika Selatan. Keelokan fisik berpadu seni.

*

Selaku evangelis bola, menjadi tanda tanya jika satu-satunya trofi besar Inggris hanya Piala Dunia 1966. Dari tahun ke tahun mereka menyanyi football coming home, faktanya seperti lirik lagu Bang Toyib, yang ditunggu tak pulang-pulang.

Setelah 55 tahun lalu, baru kali ini Inggris kembali menjejak final turnamen besar. Beda dengan Italia yang mengemulasi model, Inggris kali ini datang lewat model evolusi.

Pada 2006, Gianluca Vialli menulis buku Italian Job yang isinya didasari pengalaman berkecimpung dalam dua kutub sepakbola Eropa, Italia dan Inggris. Salah satu kritik terbesar Vialli (halaman 193), Inggris negara paling miskin taktik. Sangat konservatif. Inggris menutup diri dari perubahan sepakbola modern.

Ketika itu taktik di semua klub hampir seragam. Tahun 2006 dan 2007, dari 20 klub anggota Liga Premier, 11 pelatihnya orang Inggris.

Tim nasional Inggris paling hobi 4-4-2. Duet striker biasanya satu pemain gesit, satu lagi pemain pemantul. Sebut saja Sheringham-Shearer, Owen-Heskey, atau Rooney-Crouch. Strategi yang mudah dibaca lawan.

Inggris zaman dulu belum mengenal penguasaan bola. Euro 2012, rerata umpan per pertandingan Inggris hanya 343,3. Rerata penguasaan bola per pertandingan cuma 39 persen.

Seiring semakin populer Liga Premier, Inggris membuka diri. Pelatih-pelatih hebat dunia masuk. Ada Carlo Ancelotti, Juergen Klopp, Pep Guardiola, Jose Mourinho, Marcelo Bielsa dan lain-lain. Klub-klub tak lagi kaku. Musim 2021, hanya ada empat pelatih asli Inggris dari 20 klub Liga Premier.

Penguasaan bola yang menjadi kunci sepakbola modern diakrabi. Kesadaran terhadap taktik yang senantiasa berkembang menular ke tim nasional.

Inggris tidak lagi 4-4-2 melulu. Gareth Southgate familiar dengan varian tiga bek dalam formasi 3-4-2-1. Pragmatisme juga tertanam. Inggris kian mengenal menang meski main buruk (ugly win).

Dari semula seringkali tendang lari dan bergantung bola mati, sekarang Inggris bisa memberdayakan penguasaan bola. Sepanjang Euro 2020, rerata umpan sukses per laga mencapai 497. Rerata penguasaan bola per laga 54,2 persen. Bahkan Inggris mencatat rekor 54 umpan tanpa henti sepanjang 2 menit 41 detik pada perpanjangan waktu semifinal lawan Denmark. Terbanyak dan terlama dalam satu sekuen sepanjang turnamen.

Stok kreatif di lini serang Inggris sekarang membludak. Dulu Inggris kesulitan cari gelandang bertahan hebat, saat ini mereka punya Kalvin Phillips, Declan Rice atau Jordan Henderson. Sepanjang Euro 2020, mereka tim paling sedikit kebobolan, hanya satu gol.

Pendek kata Inggris benar-benar berubah. Terjadi evolusi. Identitas lama kabur, jatidiri baru tiba mengikuti zaman.

*

Emulasi atau evolusi gaya permainan? Apa sejatinya pelajaran yang bisa dipetik Indonesia dari gelaran Euro 2020? Bagi kita orang Indonesia tentu sedih menyadari selama ini tidak pernah merasa yakin memiliki identitas permainan. Padahal sepakbola olahraga paling populer di sini.

Kolumnis Kadir Jusuf pada 1982 pernah menulis buku 'Sepakbola Indonesia'. Isinya kurang lebih berusaha mencari tahu sebenarnya apa identitas sepakbola Indonesia. Kadir Jusuf kemudian memaparkan sistem blok ala Vaclav Jezek (Cekoslovakia) paling relevan sebagai dasar kokoh sepakbola Indonesia. "Sistem blok berdasarkan serangan balik Jezek telah menjawab dan memecahkan secara mendasar persoalan yang juga kita hadapi: permainan umpan pendek yang lamban dan tidak efisien," tulis Kadir Yusuf (halaman 93).

Lalu pada 2017, PSSI meluncurkan buku Filosofi Sepakbola Indonesia yang disusun Direktur Teknik Danurwindo. Dalam buku itu tertera, filosofi sepakbola Indonesia: menyerang secara proaktif dengan penguasaan bola konstruktif dari lini ke lini berorientasi progresif ke depan untuk mencetak gol. Kemudian, bertahan proaktif dengan melakukan pressing secara situasional berbasis penjagaan zonal.

Buku itu juga menjelaskan, PSSI memilih 4-3-3 sebagai formasi belajar untuk mewujudkan filosofi sepakbola Indonesia.

Apakah betul ini identitas sesungguhnya sepakbola Indonesia? Saya persilakan Anda menilai sendiri.

Saya sendiri berkeyakinan, sepakbola Indonesia lebih perlu melihat model yang sejauh ini berhasil menorehkan prestasi.

Dari catatan sejarah, ada dua pelatih Indonesia dipandang paling berhasil. Pertama Toni Pogacnik dengan prestasi menahan Uni Soviet yang diperkuat Lev Yashin 0-0 di Olimpiade 1956 Melbourne. Pogacnik disebut-sebut sebagai pelatih paling sukses sepanjang sejarah Indonesia.

Kedua, duet Anatoli Polosin dan Vladimir Urin yang membuat timnas Indonesia meraih emas SEA Games 1991 Manila. Itu gelar terakhir pernah diraih Indonesia di ajang internasional yang ironisnya datang 30 tahun lalu.

Dari berbagai laporan media, benang merah kunci sukses Pogacnik dan Polosin-Urin ada pada gemblengan fisik dan disiplin pemain.

Tampaknya jika disarikan, dengan kondisi peringkat FIFA sekarang (173) memang Indonesia belum perlu bicara apa identitas permainan paling cocok. Prioritas nomor satu dalam pandangan saya, Indonesia layak mengemulasi Pogacnik dan Polosin-Urin dengan menempa dulu fisik pemain agar sanggup bermain total sepanjang 90 menit dalam ciri permainan modern.

*

Sulit menebak juara Euro 2020, Inggris atau Italia. Inggris baru tampil kedua kalinya di final turnamen besar setelah terakhir 1966. Bagi Italia ini final turnamen besar kesepuluh.

Inggris punya rekor buruk setiap ketemu Italia di putaran gugur turnamen besar, selalu kalah dalam empat kali pertemuan. Dua pertemuan terakhir imbang 1-1 dalam status laga ujicoba.

Italia tidak bisa dilepaskan dari sejarah penebusan setiap kali sukses di turnamen besar. Juara Piala Dunia 1982 menjadi penebusan kasus totonero yang mengggegerkan. Juara Piala Dunia 2006 menjadi penebusan skandal calciopoli yang merusak tatanan sepakbola Italia. Apakah aib gagal lolos ke Piala Dunia 2018 Rusia cukup sebagai alasan penebusan juara di Wembley 2020?

Bagi Inggris, sejak memenangi Piala Dunia 1966 mereka mengalami empat kekalahan sangat menyakitkan di semifinal turnamen besar: Piala Dunia 1990 dan 2018 serta Euro 1968 dan 1996. Barrier kutukan semifinal itu berhasil dilepas saat mereka mengalahkan Denmark lewat penalti kontroversial.

Usai mengatasi Jerman 2-0 di perdelapan final, catatan selalu kalah yang menggandoli Inggris 55 tahun juga sirna. Itulah sebabnya, bursa lebih memfavoritkan Inggris secara tipis dibanding Italia.

Kalau ingin menggagalkan sepakbola pulang ke rumah, sepertinya Italia perlu melakukan dalam 90 menit plus 30 menit perpanjangan waktu. Sebab ada satu kutukan sial yang belum pecah hingga kini: tidak pernah ada tim memenangkan dua adu penalti dalam satu gelaran Euro.

*Penulis adalah Pemred Brilio.net, suka nonton bola tinggal di Yogyakarta