Brilio.net - Apa yang ada di pikiranmu saat mendengar Papua? Wilayah terpencil penuh dengan ketertinggalan? Daerah yang masih sering konflik? Atau mungkin lainnya.

Pernahkah kamu mencari tahu bagaimana kondisi pendidikan di sana? Mungkin tidak banyak orang yang mau tahu tentang kondisi pendidikan di Papua dan sedikit pula sarjana yang mau dengan ikhlas mengajar di sana.

Lain halnya dengan Erlyn Stevanie Rosalyn yang sudah menjadi pengajar di Papua sejak tahun 2012 lalu. Erlyn (25), sarjana Pendidikan Kimia lulusan Universitas Negeri Malang (UM) ini adalah salah satu dari 5 pengajar dari Jawa yang berangkat ke Papua berkat program “Guru Kontrak BP Tangguh-Muhammadiyah”.

Erlyn mengaku bahwa dia memutuskan untuk menjadi pengajar di Papua karena memang dia bercita-cita untuk hidup mandiri di luar Jawa. “Awalnya dapet info dari temen terus tanya sana-sini akhirnya daftar dan lolos waktu ikut tes. Waktu itu persiapan utamanya adalah mental kerena banyak orang yang bilang ‘Kenapa Papua? Kan orang-orangnya telanjang, suka perang, dll.’ Tapi berbekal restu orangtua ya Bismillah saja,” cerita Erlyn pada brilio.net.

Perempuan asal Kediri ini bercerita bahwa sistem pendidikan di Papua itu berbeda jauh dengan Jawa. Jika di Jawa guru akan dibantu dengan media lain seperti buku pelajaran, di Papua guru adalah satu-satunya sumber karena di sana tidak ada buku pelajaran dan juga internet.

“Susahnya saat tidak ada listrik. Mau print materi, soal, tampilkan video, itu sulitnya setengah mati. Padahal guru kan satu-satunya sumber belajar. Belum lagi kalau nggak ada sinyal kan saya nggak bisa browsing cari bahan mengajar.”

Tapi tentunya hal itu tidak menyurutkan semangat perempuan yang saat ini menjadi pengajar di SDN Taroi ini untuk terus menjadi seorang pendidik di sana. Erlyn juga menambahkan bahwa Papua tidak seseram apa yang selama ini dipikirkan orang.

Masyarakat Papua terbukti sangat ramah satu sama lain. Misalnya saja setiap hari ada saja yang mengantar hasil tangkapan laut seperti udang, lobster, dan lainnya untuk diberikan padanya.

“Pengalaman ngajar paling menarik saat awal ngajar, saya dibikin jengkel sama murid-murid. Besoknya tiba-tiba ada yang memberi saya kayu untuk memukul murid yang nakal. Saat itulah saya terenyuh, saya buang kayu dan bilang kalau saya bukan sedang menggembala kambing, jadi saya rasa mulut saya sudah cukup untuk mengubah kalian,” lanjut Erlyn.

Dan saat ditanya terkait dengan konflik Papua, Erlyn bercerita bahwa di sana kekeluargaannya masih sangat kental dan masih menganut marga. Itulah mengapa jika ada masalah sedikit, satu kampung bisa saling bunuh.

Tapi Erlyn berprinsip bahwa dia tidak ingin mengganggu adat di sana karena niatnya hanyalah ingin mencerdaskan anak Papua. Dan, setelah lama tinggal di Papua Erlyn merasa telah menjadi bagian dari masyarakat setempat.