Brilio.net - Bagi seorang muslim, ada beberapa kondisi yang diperbolehkan tidak melaksanakan ibadah puasa dengan syarat menggantinya pasca Ramadan nanti. Kondisi ini utamanya dialami oleh kaum hawa yaitu dengan sebab haid, mengandung, maupun nifas.

Alawy Ali Imron melalui bukunya Dari Jilboobs Hingga Nikah Beda Agama memberi penjelasan mengenai qadha puasa. Alawy adalah salah seorang murid Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliky yang merupakan ahli hadis nomor satu dunia pada masanya.

Mengganti puasa hukumnya adalah wajib, berbeda dengan shalat yang bagi wanita haid dibebaskan dari qadha. Dasar kewajiban ini tertera pada surat Al Baqarah ayat 184. Yang perlu diperhatikan juga adalah mengingat kembali pada Ramadan sebelumnya apakah masih ada utang yang belum terbayar.

Hari untuk melakukan qadha adalah bebas, namun makruh hukumnya mendahulukan puasa sunah ketimbang mengganti puasa yang wajib. Pelaksanaan secara berturut-turut menurut mayoritas ulama adalah sunah, jadi tidak harus. Jumlah puasa yang harus diganti adalah sejumlah yang ditinggalkan. Namun jika sampai melewati Ramadan lagi, maka hukum dan aturannya jadi berbeda.

Jika demikian, mayoritas ulama menyatakan, selain wajib mengganti puasanya setelah Ramadan nanti, juga ada kafarat (denda) memberi fidyah kepada orang miskin seberat 1 mud (6 ons) bahan makanan pokok per hari. Jadi, misalnya hutang puasa yang telah melewati satu Ramadan itu sebanyak 7 hari maka wajib qadha puasa 7 hari ditambah 7 mud makanan pokok.

Pendapat Mazhab Syafi'i menyebut kafaratnya jadi berlipat sesuai berapa kali Ramadan yang terlewat. Misalnya ada hutang puasa yang sampai melewati lima kali Ramadan, maka mengganti puasa ditambah 5 mud makanan pokok per hari. Pendapat Mazhab Hanafi menyebut tidak perlu membayar kafarat, cukup mengganti puasanya saja. Sedangkan menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali, besar kafarat tetap 1 mud per hari meskipun melewati berapa kali Ramadan sekalipun.

Bagi ibu hamil dan menyusui, ada perinciannya lagi. Jika meninggalkan puasa dengan karena khawatir dirinya tidak kuat maka hanya berkewajiban mengganti puasa. Sedangkan jika meninggalkan puasa karena khawatir dengan kesehatan janin maka wajib mengganti puasa ditambah kafarat 1 mud.

Jika seseorang yang punya utang puasa keburu meninggal, dengan alasan yang dibenarkan syariat semisal sakit, maka tak ada kewajiban bagi ahli waris membayarkannya. Sedangkan jika sebelum meninggal punya kemampuan mengqadha namun belum sempat mengganti, ada beberapa pendapat. Menurut Mazhab Hambali menganjurkan ahli waris untuk mengganti. Menurut Mazhab Syafi'i ahli waris tak wajib mengqadha puasa, namun cukup memberi makan 1 orang miskin per hari yang ditinggal. Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi menyatakan ahli waris tidak perlu mengqadha maupun memberi makan kecuali jika si mayit telah memberi wasiat.

 

BERITA TERKAIT YANG WAJIB KAMU BACA:

Begini ceritanya kenapa Raden Paku akhirnya bisa dipanggil Sunan Giri

Kisah terenyuh Sunan Giri, saat bayi dibuang ke laut oleh kakeknya

Kisah Wali Sanga, alat musik tradisional bikin orang masuk Islam

Mengenal peletak dasar-dasar kerajaan Islam pada era Wali Songo

'Tapa ngeli', cara Sunan Muria menyebarkan ajaran Islam

Ternyata Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati, ini penjelasannya

Ini asal usul falsafah dahsyat Moh Lima besutan Sunan Ampel

Tokoh punakawan, peninggalan Sunan Kalijaga sewaktu berdakwah

Kisah Sunan Kudus yang berhasil sembuhkan wabah penyakit di Arab

Shalat minta hujan Sunan Gresik selamatkan gadis yang akan jadi tumbal

Ini penjelasan kenapa semua Wali Songo terletak di pesisir utara Jawa