Brilio.net - “How many times do you need to finish your work?” tanya seorang guru kepada para murid. “Give us four minutes Sir,” jawab salah satu murid.

Begitulah dialog yang terdengar dari sebuah kelas sekolah menengah pertama di Pulau Bunyu beberapa waktu lalu. Dialog inilah yang kerap disampaikan Suprapto, pria kelahiran Malang, 20 Februari 1981 saat memberikan pelajaran di Pusat Pemberdayaan Masyarakat Pertamina (PPMP) Bunyu.

Mengajar menjadi aktivitas keseharian Suprapto. Pria berusia 34 tahun itu adalah salah satu  pengajar yang mendedikasikan dirinya demi kemajuan pendidikan di Pulau Bunyu. Sebenarnya, apa yang dilakukan Suprapto semata-mata untuk membuktikan dirinya bukanlah sosok kacang lupa kulit. Kendati menyandang S2 Pendidikan Bahasa Inggris, dia tak pernah melupakan tempat dia dibesarkan.

Padahal, dengan gelar master yang disandangnya, dia sering mendapat tawaran bekerja di luar Pulau Bunyu. Tapi Suprapto tak ingin meninggalkan pulau kecil di Kalimantan Utara ini. Bahkan, gemerlapnya kehidupan kota dan pandangan akan tingginya penghasilan tak membuat dia tergoda untuk meninggalkan Bunyu.

Suprapto menetap di Pulau Bunyu sejak 1987 saat dia berusia enam tahun. Awalnya, ayah Suprapto hijrah ke Bunyu pada 1985 ketika menjadi pekerja kontrak di Pertamina. Namun saat itu Suprapto kecil belum ikut pindah ke pulau kaya minyak itu. Setelah dua tahun bekerja di Bunyu, barulah sang ayah memboyong Suprapto dan keluarganya ke pulau itu. Sejak saat itu Suprapto menjalani hidupnya di pulau seluas 198,32 km persegi itu.

BACA JUGA: Djaka Sasmita bergelar doktor tapi anaknya tak lulus SMA, kenapa?

Bahkan, Suprapto menghabiskan masa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama di pulau itu. Usai menamatkan sekolah, Suprapto melanjutkan pendidikan menengah atas di Malang, tanah kelahirannya hingga meraih gelar S2. Namun, Suprapto tak bisa melupakan Bunyu yang banyak menyimpan kehidupan masa kecilnya.

Usai menamatkan pendidikan, dia sempat bekerja di sebuah perusahaan migas yang relatif ternama, namun dirinya tak bisa menghilangkan memorinya terhadap Bunyu. “Saya pernah jadi security di Medco dari tahun 2004 sampai 2007,” kenang alumnus Sastra Inggris, Universitas Gajayana Malang itu.

Tak puas dengan pekerjaannya Suprapto pun mengundurkan diri dan melamar ke Pertamina Transkontinental. Dia diterima dan sempat bekerja selama dua tahun sejak 2007 hingga 2009 sebagai tenaga Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT). Rupanya, bekerja di Pertamina juga tak membuatnya puas. Dalam benak dia, apa yang dikerjakan berbeda dengan panggilan hatinya yang ingin sekali mengajar. Sebenarnya, hasrat menjadi seorang pengajar Bahasa Inggris sudah terlihat setelah dia menamatkan pendidikan S1.

Bahkan, sebelum melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Islam Malang, dia sempat memberikan kursus Bahasa Inggris untuk masyarakat umum dan beberapa pekerja Medco. Ketika PPMP membutuhkan tenaga pengajar untuk bahasa Inggris dan komputer, Suprapto yang mendapat kabar tersebut tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

“Bu Atika saat itu selaku fasilitator di sini mencari tenaga pengajar. Dia ngobrol dengan teman-temannya. Nah ada teman yang pernah saya ajar dulu dan merekomendasikan saya. Akhirnya saya ditelepon,” kisah Suprapto mengenang awal mulai bergabung bersama PPMP.

Setelah bergabung dengan PPMP, berbekal ilmu dan pengalaman yang dimiliki dibangku kuliah, Suprapto segera membuat modul pelajaran bahasa Inggris. Namun, untuk mengajar rupanya tak semudah membalik telapak tangan. Suprapto dihadapkan pada masalah motivasi anak-anak didik di Bunyu yang masih rendah.

Suprapto, pilih mengajar di pulau kecil dibanding cari gaji besar

Awalnya, motivasi para anak didik di Bunyu tidak seperti di kota besar di mana mereka bersaing untuk menjadi yang terbaik. Suprapto melihat kemampuan bahasa Inggris para siswa setingkat SMA di Bunyu banyak yang tidak sesuai dengan standar kemampuan yang seharusnya.

Suprapto tak putus asa. Dia berharap ada perbaikan serta dapat meningkatkan minat berbahasa Inggris para siswa.

Suprapto punya harapan besar. Dia ingin melihat anak-anak didiknya memiliki kemampuan bahasa Inggris yang dipadukan dengan keterampilan komputer. Bermodalkan dua mata ajar itu, para siswa di Bunyu dipastikan bisa bersaing untuk masuk perguruan tinggi maupun dunia kerja.

“Padahal pada era global ini Bahasa Inggris merupakan jembatan dalam menjalin hubungan internasional. Saya ingin kelak anak-anak Bunyu ada di sana,” tegas Suprapto.

Harapan Suprapto tak muluk-muluk. Dia hanya ingin meningkatkan pemahaman dan kapasitas kemampuan bahasa Inggris pada pemuda usia produktif serta anak-anak usia sekolah dengan harapan putra-putri Bunyu dapat bersaing secara global.

Boleh jadi banyak orang akan terheran-heran melihat kiprah Suprapto di Bunyu. Padahal dengan modal pendidikan master yang dia miliki, sebenarnya Suprapto bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar ketimbang sekadar menjadi tenaga pengajar di Bunyu.

Namun, Suprapto punya pandangan sendiri. Menurut dia, kebahagiaan itu tidak selalu diukur dengan banyaknya penghasilan. Filosofi hidup Suprapto sederhana. Kebahagiaan dapat dia rasakan ketika bisa menciptakan suasana keluarga yang nyaman, tenang, tanpa ada kekhawatiran.

“Hidup berkecukupan saja dan saya bisa berbagi ilmu dengan orang lain, itu sudah merupakan kebahagiaan buat saya. Salah satunya mengajar di sini,” kata Suprapto seraya menegaskan Bunyu adalah secuil pulau yang banyak menyimpan kenangan masa kecilnya.