Brilio.net - Ada beragam alasan orang membaca buku, antara lain untuk tugas sekolah, hiburan, lebih tahu tentang sesuatu, bahkan bisa saja untuk melarikan diri dari kenyataan. Betul?

Namun membaca literatur, terutama jika relevan dengan tahap kehidupan yang sedang kamu jalani, akan memiliki efek pada jiwamu. Tak percaya?

Dilansir brilio.net dari Huffington Post, Jumat (21/8), konsep untuk mewakili fenomena di atas adalah bibliotherapy, yang didefinisikasn sebagai resep fiksi untuk penyakit hidup. Definisi ini dicetuskan oleh ahli bibliotherapy dan rekannya yang merupakan penulis buku berjudul The Novel Cure, Ella Berthoud dan Susan Elderkin. Sekalipun praktik terapi ini tidak melibatkan pengobatan medis, banyak teman dan kerabat yang mendukung gagasan kedua wanita tersebut sejak tahun 2008.

"Salah satu efek samping utama dari membaca literatur adalah bahwa kegiatan ini secara signifikan bisa mengubah cara pandangmu melihat dunia," kata Elderkin. Dia mengaku menemukan beberapa orang yang merasakan ada perubahan dalam kehidupan mereka kala membaca novel, seakan bertemu dunia baru.

Manfaat membaca dari sisi ilmiah pun sudah terbukti, antara lain mengurangi stres, meningkatkan kualitas tidur untuk mengurangi gejala depresi, dan melindungi otak terhadap penyakit Alzheimer. Bahkan ada sebuah penelitian pada tahun 2013 yang menemukan bahwa membaca buku fiksi dapat membantu kamu menjadi orang yang lebih berempati dengan memberikan pengalaman yang melibatkan emosimu terhadap tokoh yang ada di buku bersangkutan.

Lantas, bagaimana sejarah bibliotherapy?

Menurut Ceridwen Dovey, seorang penulis dan kontributor untuk The New Yorker, istilah "bibliotherapy" pertama kali muncul dalam bahasa Inggris modern pada awal abad ke-20 dalam artikel "The Literary Critic" yang diterbitkan dalam The Atlantic Monthly. Di sini, bibliotherapy mengacu kepada bacaan yang direkomendasikan untuk 'penyembuhan' dan untuk menemukan ilmu baru. Setelah sekitar satu abad berlalu, teknik terapi ini sudah berdampak di lingkungan sekolah, penjara, kesehatan, dan individu pribadi.

Ambil saja contoh untuk sekolah di London, Inggris, yang berbasis sekolah kehidupan (di mana Berthoud dan Elderkin mempraktekkan jasanya). Di sekolah-sekolah ini, klien baru selalu diminta mengisi kuesiner tentang pengalaman membaca mereka pada masa lalu, lalu tentang apa yang mereka harapkan untuk dibaca sekarang, dan menyebutkan setiap perubahan besar yang terjadi dalam hidup merela selama ini. Kemudian, mereka bertemu bibliotherapists, yang kemudian memberikan bacaan rekomendasi untuk mereka.

Perlu diketahui, beberapa orang menemui bibliotherapists karena mereka sedang menghadapi persoalan traumatis, atau hanya sekadar memang suka membaca namun ingin mengobrol untuk lebih banyak tahu manfaat membaca sebuah buku.

"Kami mendapati orang-orang yang mengalami situasi rumit dalam hidupnya, misalnya perubahan pekerjaan atau karier, kesenjangan hidup, menghadapi perceraian, perselingkuhan, atau masalah lainnya. Akhirnya, kami merekomendasikan enam sampai delapan buku yang akan membantu mereka berpikir secara baik," ujar Berthoud.

Lebih lanjut, benarkah bibliotherapy efektif?

Dari pengalaman Berthoud dan Elderkin yang telah menangani banyak klien dari usia sekolah dasar sampai pensiun (mayoritas perempuan) yang membaca sesuai kebutuhan mereka, dan sekalipun sebagian juga tak lagi datang pada keduanya, namun sisanya yang memang menerapkan bibliotherapy mengaku merasakan rasa baru dalam hidup mereka. Contohnya Dovey yang merupakan klien bibliotherapy, mengaku merasa menemukan sesuatu yang baru dari membaca sebuah buku (dia membaca fiksi) dan mengubah dirinya menjadi lebih unik.

Bagaiaman pendapatmu, guys? Apakah kamu merasakannya juga?