Brilio.net - Peristiwa teror di kawasan Sarinah, Kamis (14/1), menjadi santapan semua media massa. Setiap media massa berlomba-lomba memberikan berita yang paling aktual kepada pembaca, pendengar, maupun pemirsanya. Sayangnya, dalam pemberitaan itu beberapa media dianggap melanggar pedoman jurnalistik. Alhasil, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada lembaga penyiaran yang melanggar itu.

Media apa saja itu? Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyebutkan ada delapan lembaga penyiaran yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) tentang program siaran jurnalistik tentang akurasi berita dan larangan menampilkan gambar mayat. "Sanksi diberikan kepada stasiun METRO TV, TVRI, NET TV, TRANS 7, INEWS, INDOSIAR, TVONE dan Radio Elshinta," kata Wakil Ketua KPI Idy Muzayyad dalam siaran pers, Jumat (15/1). Surat sanksi itu sendiri ditandatangani oleh Idy Muzayyad.

Idy menjelaskan, pada program "Breaking News" (METRO TV) pukul 11.20 Kamis (14/1), menayangkan informasi yang tidak akurat "Ledakan di Palmerah". "Hal tersebut tentunya dapat menimbulkan keresahan masyarakat akibat berita yang tidak benar," ujarnya. Selain itu, KPI juga mendapati tayangan video amatir yang memperlihatkan visualisasi mayat tergeletak di dekat pos polisi Sarinah yang merupakan lokasi peristiwa ledakan. "Penayangan tersebut tidak layak dan tidak sesuai dengan etika jurnalistik, serta mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap masyarakat yang menyaksikan program tersebut," lanjut dia.
 
Adapun pelanggaran oleh TVRI terjadi pada pukul 13.27 saat menampilkan running text yang tidak akurat berupa "Ancaman bom dilakukan di Palmerah, Jakarta dan Alam Sutera, Tangerang Selatan". "KPI menyesalkan TV Publik menayangkan running text yang tidak akurat," tuturnya.

Penayanganan visualisasi mayat juga dilakukan oleh Trans 7 pada program jurnalistik "Redaksi" yang tayang pukul 12.13 WIB. Gambar tersebut ditayangkan tanpa disamarkan (blur) sehingga terlihat secara jelas. Hal serupa juga dilakukan oleh stasiun NET TV pada program jurnalistik "Net Update: Breaking News" pukul 11.27 WIB.

Pada stasiun TVONE, KPI menemukan pelanggaran P3 & SPS saat program jurnalistik "Breaking News" menampilkan visualisasi mayat yang tergeletak di dekat pos polisi Sarinah. Gambar tersebut ditayangkan tanpa adanya penyamaran (blur), sehingga terlihat secara jelas. Selain itu, pada program ini pula ditampilkan informasi yang tidak akurat tentang "Ledakan Terjadi di Slipi, Kuningan, dan Cikini". "Kalimat yang tampil di layar ini, meskipun kemudian dikoreksi, tentunya telah menimbulkan keresahan masyarakat. Hal ini melanggar prinsip-prinsip jurnalistik tentang akurasi berita serta larangan menampilkan gambar korban atau mayat secara detil," sebut Idy.

Munculnya gambar mayat juga ditemukan KPI pada program jurnalistik "Patroli" yang disiarkan stasiun televisi Indosiar pada pukul 11.05. KPI mendapati adanya tampilan potongan gambar yang memperlihatkan visualisasi mayat yang tergeletak di dekat pos polisi Sarinah. Gambar tersebut ditayangkan tanpa disamarkan (blur) sehingga terlihat secara jelas.

Visualisasi mayat korban ledakan juga ditemukan pada program Breaking News di INEWS TV. Selain itu, program ini juga menampilkan informasi yang tidak akurat "Ledakan Juga Terjadi di Palmerah". "Padahal berita tentang ledakan di tempat lain itu tidak benar," tegas dia.

Sementara untuk stasiun radio ELSHINTA, didapati beberapa kali menyampaikan berita bahwa terjadi ledakan di beberapa lokasi selain yang terjadi di kawasan Sarinah, Thamrin. KPI menilai telah terjadi pelanggaran prinsip jurnalistik seperti yang telah diatur dalam P3 & SPS oleh keempat lembaga penyiaran ini.

Idy Muzayyad menyatakan, kasus ini harus menjadi pelajaran bahwa jurnalistik di Indonesia harus berbenah agar dalam memberitakan tidak hanya berpatokan pada kecepatan melainkan ketepatan (akurasi). "Apalagi ini adalah berita yang berkaitan dengan tragedi," ujar Idy. Ke depan, tambahnya, tampilan mayat dan jenazah jangan ada lagi di layar kaca kita.