Brilio.net - Awalnya Singgih Susilo Kartono tak pernah menyangka jika tugas akhirnya sebagai mahasiswa desain Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) bisa terkenal hingga ke mancanegara.

Saat menyelesaikan tugas akhir pada 1992 silam, Singgih membuat radio kayu yang diberi nama Magno yang berarti memperbesar", mengacu pada kaca pembesar.

Radio kayu berbentuk klasik inilah yang akhirnya mengubah hidup pria kelahiran Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, 1 April 1968.

Kepada brilio.net, Singgih mengaku sejak lulus dari ITB hingga tahun 2003, dia mendirikan dan mengelola industri kerajinan kayu untuk pasar ekspor dengan produk wooden toys.

Namun desain tersebut baru bisa diproduksi pada 2005, karena kesulitan mendapatkan vendor elektronik kit radio. Maklum, industri elektronik meminta minimal order yang tinggi, sementara saat itu Singgih tidak punya kemampuan finansial yang memadai.

Tapi, kerja keras Singgih mulai membuahkan hasil ketika salah satu purwarupa radio Magno sampai ke tangan Rahmat Gobel yang dikenal sebagai bos National Gobel Group yang sekarang bernama Panasonic Gobel Group.

Sosok mantan Menteri Perdagangan dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo ini rupanya sangat tertarik dengan karya Singgih itu. Sejak itulah Singgih bisa membeli kit radio dari produk running production National Gobel Group.

Setiap radio Magno, dibuat dengan tangan secara cermat, menggabungkan unsur keindahan dengan bahan-bahan berkualitas tinggi. Para pekerja Magno-Piranti Works yang sebagian besar warga Desa Kandangan rata-rata sudah memiliki pengalaman dalam memproduksi barang kayu.

Melalui pelatihan intensif di bengkel Magno itu, penduduk desa mampu menghasilkan barang kayu berkualitas tinggi yang memenuhi standar ekspor. Saat ini Magno-Piranti Works mempekerjakan lebih dari 40 warga desa setempat sebagai perajin dan mereka menggunakan sekitar 80 pohon per tahun. Setiap perajin menggunakan hanya 2 pohon per tahun.

Meski sudah bisa memproduksi radio Magno, Singgih tak serta merta meraih sukses. Dia dihadapkan pada persoalan pemasaran produk. Ternyata, tidak mudah memasarkan produk radio kayu yang tampak jadul itu di Indonesia.

Karena radio kayu Magno merupakan produk baru, dengan konsep desain yang baru dan saya juga ingin menggunakan brand saya sendiri. Saluran pemasaran mainstream ternyata tidak sesuai, kisah Singgih.

Namun keberuntungan mulai memihak ketika pemasaran radio Magno terbantu berkat publikasi yang dilakukan seorang profesor sustainable design asal Jepang di Tokyo. Si profesor menulis di majalah, juga memasukkan Magno dalam setiap presentasinya. Sampai-sampai profesor Jepang itu memilihkan tempat menjual yang tepat. Magno akhirnya menyebar dengan cepat ketika di jual di laman www.assiston.co.jp, online shop berbahasa Jepang.

Laman ini juga memuat informasi yang detail tentang Magno, termasuk cerita dibalik produk tersebut. Penyebaran via internet tersebut juga disebabkan karena desain radio kayu Magno sangat eye catching. Hasilnya publikasi Magno seperti tidak terbendung. Sampai saat ini jika kita googling wooden-radio maka yang muncul paling atas adalah radio Magno.

Singgih menegaskan radio Magno memiliki kategori sendiri, sebagai produk design item atau collectible item. Karena itu sangat sulit mengomparasikan Magno dengan produk elektronik lain, termasuk dengan radio kayu yang ada di pasaran. Sebab, selain desain yang unik dan craftmanship yang tinggi, Magno juga memiliki filosofi desain yang dalam.

Tak heran jika Magno mendapat cukup banyak penghargaan internasional yang prestisius.

Saya sangat percaya bahwa hubungan antara user dan produk tidak hanya hubungan antara subjek dan objek. Ini adalah hubungan di mana produk merupakan bagian terpadu dari kehidupan kita, tegas Singgih.

Menariknya, semua produk Magno tidak dilapisi bahan alami. Singgih hanya menggunakan minyak kayu. Hal itu dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada pemiliknya bisa merawat kayu. Kita harus menjaga dan merawat produk yang kita beli. Inilah yang saya sebut sebagai kewajiban moral antara pemilik produk dan produk-produknya, katanya.

Hingga saat ini radio Magno sudah di pasarkan hampir di seluruh dunia, kecuali Afrika dan Timur Tengah. Negara-negara di dunia yang menjadi pasar Magno di antaranya, Amerika Serikat, Brasil, hampir semua negara Eropa, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Australia, dan Selandia Baru.

Di samping itu, Singgih juga sudah mengantongi sederet penghargaan lewat karyanya itu di antaranya 2nd Winner International Design Resource Award (IDRA) Seattle, USA (1997), Designing wooden-craft toys product Anomali series (1996-2003), Shortlisted Participant on International Design Competition Tile with Crystal Swarovsky-Designboom.com (2004), Winner of Indonesian Good Design Selection 2005, Winner of Indonesian Good Design Selection 2006, Good Design AwardJapan 2008 in the category Innovation/Pioneering & Experimental Design Activities , Grand Award Design for Asia Award 2008 dari Hongkong Design Centre, termasuk Kids Design Award Japan pada 2013 lalu.

Sayangnya, Singgih enggan menyebutkan berapa omzet yang bisa dia raih dalam setahun. Menurut dia radio Magno masuk ke niche market celah pasar kecil yang hampir tidak ada kompetitornya.

Magno memang tidak besar dalam ukuran omzet, namun Magno memberi kontribusi besar pada dunia perkayuan Indonesia yang selama ini lebih dikenal sebagai negara perusak hutan. Magno kini telah menjadi salah satu ikon desain dunia, Magno membuktikan bahwa kita bisa membuat produk kayu dengan desain yang unggul, papar Singgih.

Di samping itu, Magno adalah merek Indonesia yang ramah lingkungan. Tak heran jika radio kayu yang indah ini meraih penghargaan dan telah dipamerkan di Cooper-Hewitt National Design Museum di New York, dan Design Museum London.

Di Jakarta, Magno tersedia di pusat-pusat perbelanjaan high end, seperti Pacific Place dan Grand Indonesia. Saat ini Magno memiliki distributor di Jepang, Australia, dan berbagai negara Eropa.

Selain itu, keberadaan Magno juga memberikan manfaat bagi masyarakat desa Kandangan, yang memiliki sumber penghasilan berkelanjutan. Magno juga menjadi sarana untuk mempromosikan penggunaan berkelanjutan sumber daya alam untuk setiap pohon yang ditebang,. Saat ini industri Magno bahkan memiliki pembibitan pohon sendiri.

Sejak 2008, Singgih telah mendistribusikan sekitar 1.000 pohon muda setiap tahun untuk warga desa untuk ditanam di tanah mereka. Cara ini rupanya bisa meningkatkan populasi pohon 10 sampai 15 hektar hutan. Sebaliknya, sejak mulai beroperasi, Magno telah mengonsumsi kurang dari 0,5 hektar hutan.

Untuk membuat radio, Singgih menggunakan pinus, mahoni dan sonokeling (rosewood India), yang terkenal karena resonansi suara yang sangat baik. Singgih berusaha untuk kualitas, bukan kuantitas.

Tak heran jika Magno hanya menawarkan empat jenis desain radio; IKoNO, Mikro, ReKTO, dan Kubo. Yang laris adalah IKoNO yang dijual dengan banderol sekitar Rp 1,8 juta per unit. Keberadaan Magno telah membuka mata sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa produk asli Indonesia bisa merambah pasar dunia.

Brilio!!!