Brilio.net - Siang itu sepulang dari sekolah seorang bocah ngambek untuk kesekian kalinya. Dia merasa menyesal dilahirkan oleh ayah ibunya yang hanya berprofesi sebagai penyadap karet. Profesi itu jelas tidak menghasilkan pendapatan yang begitu besar. Bocah itu selalu merasa iri dengan kebanyakan teman-teman di sekolah yang orangtuanya mampu.

"Pak, bu, kenapa sih keluarga kita mesti miskin terus? Aku kan malu sama teman-teman, hidup miskin terus," keluh anak laki-laki itu.

"Hush hush, kamu tuh kalau ngomong dijaga dong mulutnya! Sudah to nak, yang paling penting kamu belajar yang pinter, biar nggak kayak bapak ibumu," jawab ibunya.

"Kenapa sih, bapak sama ibu nggak cari pekerjaan yang lain aja? Kalau nggak punya uang kan aku nggak bisa beli-beli keperluan sekolah. Gimana bisa pinter kalau nggak bisa beli apa-apa!"

Kebetulan bocah itu baru saja naik kelas 2 SMA. Kebutuhan sekolahnya pun otomatis semakin banyak, sementara penghasilan orangtuanya tak kunjung bertambah, malahan berkurang, karena kebetulan bulan-bulan itu bukan musim karet. Jadilah ia harus sering menunda untuk membeli keperluan sekolahnya.

Makin hari dia sudah semakin berani menyalah-nyalahkan orangtuanya. Dulu sewaktu SD dan SMP, ia masih sering membantu orangtuanya bekerja ke kebun karet. Tapi semenjak SMA, dirinya malah lebih sering keluar bersama teman-temannya yang perekonomian keluarganya menengah ke atas. Dia jadi jarang berada di rumah dan semakin tak betah di rumah.

Suatu hari selesai dari sekolah bocah itu tak langsung pulang, dia memilih bermain ke rumah temannya, dengan alasan bosan di rumah.

"Sob, nih coba kamu baca deh majalah ini. Kisah-kisahnya inspiratif banget. Patut kita teladani," kata temannya.

"Apaan sob?" tanya bocah itu sambil menerima majalah.

"Udah, kamu baca dulu aja deh," pinta temannya lagi.

Beberapa menit berlalu, ada yang berubah dari raut wajah bocah laki-laki itu. Dia tak berhenti membaca dan matanya malah berair karena haru. Bersamaan dengan keharuannya, ia menyadari kekeliruannya selama ini.

Di majalah itu ia membaca beberapa artikel, antara lain 'Anak SD Membawa Dagangan ke Sekolah Demi Membantu Orangtua'; 'Anak Tukang Becak Juara I Olimpiade Fisika Nasional'; dan yang paling mengharukan bagi dia adalah 'Seorang Siswa Kelas 1 SMA Difabel Bahagiakan Orangtua dengan Bisnis beromzet Rp 25 Juta Per Bulan'.

"Ah, aku terlalu banyak menuntut. Bukannya membantu malah menyusahkan," sesal bocah itu.

Sepulang dari rumah temannya, dia menemui kedua orangtuanya untuk meminta maaf atas kelakuannya selama ini. Ke depan, ia berniat tak ingin lagi menyusahkan orangtua. Dia ingin mulai bekerja dan meringankan beban keluarga. Lebih dari itu, dia ingin membiayai sekolah kedua adiknya kelak.

Dalam cerita ini, anak laki-laki itu mendapat satu pelajaran berharga, keterbatasan bukan alasan untuk berkarya. Dia jadi tahu betul apa sebenarnya arti bersyukur, terlebih masih mempunyai keluarga yang utuh. Dia pun menyesal karena selama ini selalu meremehkan orangtuanya dan tak pernah bisa membahagiakan bapak ibunya.