Brilio.net - Pesisir selatan Yogyakarta terkenal dengan deretan pantai yang masing-masing mempunyai pesona tersendiri. Tak hanya wisata pantai, ternyata ada juga wisata di daerah selatan Yogyakarta yang memiliki pemandangan eksotis. Bukit Parangtritis yang dulunya terkenal sepi dan tandus kini berubah menjadi Kampung Edukasi Watu Lumbung.

Bukan sekadar tempat wisata, Kampung Edukasi Watu Lumbung memberikan sisi edukasi kepada pengunjung. Datang ke tempat ini, kamu akan disuguhi pesona tempat yang sarat dengan kesederhanaan. Semua bangunan yang ada memanfaatkan bambu dan kayu sebagai bahan utama.

Pagi hari, kamu bisa menikmati matahari terbit dengan latar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Sumbing. Tak hanya itu, saat sore tiba kamu bisa melihat matahari tenggelam dengan latar pohon jati serta menikmati kemolekan rembulan di alam terbuka.

Kampung Edukasi Watu Lumbung terdiri dari empat bagian yang saling terintegrasi, yakni Alas Kuliner, Kedai Wedangan, Dapur Nusantara, dan Homestay Griyokulo. Jangan girang dulu, jika berkunjung ke tempat ini ada aturan main yang harus dipatuhi. Nah, aturan main ini menambah keunikannya.

Masuk ke Alas Kuliner, kamu diharuskan menanam satu pohon atau sayuran di polybag yang telah disediakan. Tenang saja, jerih payahmu menanam satu pohon akan dihargai dengan diskon Rp 2.500 saat kamu makan di sini. Di tempat itu, kamu juga bisa memasak dan membuat minuman sendiri. Jika kamu mau membantu, maka diskon buat kamu juga akan bertambah.

Naik ke atas bukit, terdapat Kedai Wedangan yang menjadi tempat pas untuk ngopi di malam hari. Di tempat ini kamu bisa menukarkan tiga buku layak baca yang kamu bawa dengan makanan khas Kedai Wedangan.

Tak jauh dari Kedai Wedangan, terdapat homestay dan juga Dapur Nusantara. Berbeda dengan Alas Kuliner dan Kedai Wedangan, Dapur Nusantara lebih menawarkan jajanan ndeso seperti ubi dan pisang bakar. Untuk makan, tempat ini juga lebih menawarkan menu yang memanfaatkan potensi sekitar seperti sayuran, sidat, kalkun, dan ikan wader.

Uniknya, tak ada kasir yang menerima uang pembayaran di tempat ini. Pengunjung menghitung sendiri biaya sesuai pesanan dan menempatkan uang pembayaran di kepis yang biasanya digunakan sebagai tempat ikan.

M. Boy Rifai, pengelola sekaligus inisiator kampung ini mengungkapkan kepada brilio.net, Rabu (16/9) bukan menjadi hal yang aneh  ketika seorang tamu melayani tamu yang lain di Watu Lumbung. Begitu juga ketika seorang tamu mencuci perabot makannya sendiri.

"Saya tidak melayani orang berduit tapi tak mau mengikuti aturan  atau diedukasi di sini," terang Boy

Selama puluhan tahun, terang Boy, bukit tandus ini tak pernah dilirik orang. Padahal sebenarnya tempat tersebut merupakan investasi sederhana yang semua orang mampu melakukannya. Kini, Kampung Edukasi Watu Lumbung juga dijadikan kawasan konservasi burung. Sekitar  300 burung telah dilepas di kawasan ini beberapa waktu lalu.