Brilio.net - Di kota-kota besar di Indonesia, banyak pelajar mengeluh dan merasa bosan dengan sekolah dan segala tugas serta ujiannya. Tapi, apakah mereka berfikir bahwa bersekolah di perkotaan jauh lebih nyaman dan menyenangkan, dibandingkan dengan keadaan murid-murid di pelosok desa? Di pelosok desa, murid harus berjalan kaki kilo-kilo meter jauhnya untuk sampai sekolah.

Ahmad Gusra, pemuda asal Padang yang mengajar di SDN Trans Batui 5, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah menceritakan betapa beratnya kondisi siswa di pedalaman. Sekolah tempatnya mengajar adalah salah satu SD di daerah transmigrasi di pegunungan Batui.

Gusra mengatakan, siswa SD Trans Batui terdiri dari berbagai macam suku, seperti Bali, Jawa, Saluan, Bugis. Selain itu, bermacam agama, seperti Islam, Hindu, Kristen. Meski beragam suku dan agama, mereka dapat hidup menyelami kebhinnekaan Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya.

Jalan menuju desa tersebut bisa dikatakan sangat menantang, apalagi di musim hujan. Selain tanah yang becek, longsor dan banjir mengintai setiap saat. Desa di sana tanpa sinyal telepon seluler dan tanpa listrik dari PLN. Hanya ada mesin diesel yang digunakan untuk menghidupkan listrik pada jam-jam tertentu, biasanya setiap malam dari jam 18.00 wib19.00 WIB.

Namun, yang hebat dari anak-anak SD desa tersebut, mereka memiliki karakter sopan santun, baik dalam bertindak, saling menghargai sesama teman, terbiasa meminta maaf jika salah, dan hormat pada guru dan orang tua. Selain kepribadiannya yang baik, keinginan belajar mereka juga sangat tinggi. Terbukti, setiap pukul 06.45 WIB para murid sudah mulai berdatangan ke sekolah, kemudian pukul 15.00 WIB mereka sudah berkumpul lagi di kopel atau rumah belajar untuk membaca buku, dan malamnya setelah mandi mereka kembali ke kopel untuk belajar. "Sungguh saya mencintai anak-anak gunung ini," ujarnya saat dihubungi brilio.net, Minggu (26/4).