Brilio.net - Jika kamu berkunjung ke daerah Jalan AM Sangaji, tepatnya depan Hotel Tentrem Kota Yogyakarta, di sana ada sebuah warung soto kecil bernama Soto Lamongan Hijroh. Kamu akan disambut oleh pria dengan kemeja rapi, celana kain, lengkap dengan sepatu pantofel.

Dia adalah Rohaji, pemilik warung soto lamongan. Berpakian rapi dalam melayani pembeli telah menjadi kebiasaannya sejak awal mula warung tersebut berdiri pada 2006.

Siapa sangka dibalik tampilannya yang selalu rapi dan sikapnya yg ramah, pria ini dulunya adalah seorang bos judi terkenal di Kota Yogyakarta.

"Seorang rekan mengajak saya pindah ke Yogyakarta dengan iming-iming pekerjaan pada tahun 1999. Ternyata pekerjaan itu adalah mengurus tempat judi. Dalam waktu hanya satu bulan saya dipercaya menjadi manager operasional. Sejak saat itu saya bertanggung jawab penuh atas operasional harian tempat tersebut sampai tahun 2006," kenang Rohaji, pria asli Surabaya ini kepada brilio.net, Kamis (3/12).

Tak main-main, berkat kecakapannya dalam mengelola tempat judi di Yogyakarta, ia juga dipercaya untuk membuka cabang di Kota Manado, Sulawesi Utara. Tapi kesuksesannya di dunia yang kelam itu tak berlangsung lama.

Pada era presiden SBY, ketika Kapolri dijabat Jendral Polisi Sutanto, pekerjaan yang pada waktu itu mampu menghasilkan pendapatan Rp 25 juta per bulan harus ia tinggalkan. Kepolisian saat itu berhasil memberantas perjudian termasuk tempat ia bekerja.

Berhenti jadi bos judi, Rohaji kini sukses berbisnis soto lamongan

Akhirnya Rohaji memutuskan untuk benar-benar meninggalkan dunia hitam itu. "Sebelumnya saya juga berpikir, sampai kapan mau memberi anak makan dari uang haram? Dan akhirnya pemberantasan oleh polisi pada tahun 2006 jadi momentum saya untuk benar-benar bertobat," ceritanya.

Setelah meninggalkan dunia perjudian itu kemudian ia berpikir untuk bekerja secara halal. Dan akhirnya tercetuslah keinginan untuk berjualan soto. Ia mengaku keinginan berjualan soto itu datang tiba-tiba. Ketika itu saat berdzikir malam, secara tiba-tiba ide berjualan soto datang begitu saja. "Mungkin sudah jalan dari Tuhan," ungkapnya sambil tertawa.

Kini soto lamongannya selalu ramai oleh pembeli. Tak perlu menunggu hingga sore, soto racikannya sudah ludes pada siang hari. "Sehari minimal habis 200 mangkok. Hanya sampai jam 2 siang sudah habis," ungkap pria yang memiliki dua orang anak ini.

Dijual dengan harga Rp 9.000 per mangkok, Soto Lamongan Hijroh menawarkan rasa yang segar dan gurih. Ini didapat dari penggunaan koya sebagai ciri khas soto lamongan. Kuah yang kental dengan cita rasa rempah yang kuat berpadu dengan irisan ayam, bihun, dan potongan telur rebus. Dan setiap harinya warung makan sederhana ini buka mulai pukul 06.00 pagi.