Brilio.net - Ada suatu hadis yang bunyinya "La yaflahul qoum wallat amrohu imroah" (suatu bangsa tidak akan sukses jika dipimpin oleh wanita). Hal ini menimbulkan beragam penafsiran. Bagi golongan "sangat" kanan langsung memvonis haram bagi wanita untuk menjadi pemimpin. Bagi golongan yang kiri banget, hadis ini sudah tidak layak dipakai di masa sekarang. Ada lagi satu pandangan tengah-tengah.

Diungkapkan oleh Awy A. Qolawun dalam buku Dari Jilboobs hingga Nikah Beda Agama dikutip brilio.net, Kamis (16/7), ketidaksusksesan yang dimaksud dalam hadis di atas adalah pada kepemimpinan mutlak, yaitu kekuasaan tertinggi yang tidak ada lagi kekuasaan lagi di atasnya. Maka bisa dikatakan, pelarangan wanita menjadi pemimpin hanya ketika seluruh negara di dunia telah berhimpun menjadi satu.

Untuk suatu wilayah tertentu yang di atasnya masih ada kepemimpinan lagi, maka tidak masalah wanita menjadi pemimpinnya. Maka, posisi seperti bupati/wali kota, gubernur, menteri, dsb diperbolehkan karena dia tidak menjadi penentu keputusan secara penuh.

Pada zaman khalifah Umar ibnu Khaththab, kepemimpinan perempuan dipraktikkan, yaitu As Syaffa' binti Abdillah yang ditunjuk sebagai pengatur perekonomian dan pasar.

Sedangkan ayat arrijalu qowwamuna 'alannisa' berlaku terbatas pada ranah rumah tangga. Kata qowwamuna bukan mengarah kepada kepemimpinan, namun berupa tanggung jawab atas anggota keluarganya.

Pun tidak benar bahwa ayat ini merupakan dasar untuk membatasi gerak wanita dalam bekerja. Pada masa nabi wanita terbiasa bekerja membantu suami demi menopang ekonomi rumah tangga.