Brilio.net - Sangat jarang ada orang berilmu, pendidikan tinggi dan bertitel Doktor tapi tetap sederhana. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Salah satu jarum yang sulit dicari tersebut adalah Djaka Sasmita (61), anak keempat dari Djogo Pertiwi (alm), juru kunci makam raja-raja Mataram Imogiri Bantul Yogyakarta.

Ada banyak penemuan doktor lulusan Utrech University Belanda ini. Antara lain dia menemukan biochip yang kemudian sangat berguna bagi dunia kedokteran. Djaka berpatokan dengan Alquran dalam mengembangkan penemuannya.

Nah, berikut enam fakta unik tentang Djaka Sasmita, Ibnu Sina dari Bantul:

1. Memilih keluar dari UGM
Jika banyak lulusan S-2 dan S-3 yang berhasrat menjadi dosen, Djaka Sasmita malah sebaliknya. Tahun 1996 ia memutuskan berhenti menjadi dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.  Alasannya, ia tak mau menjadi beban negara.

"Saat itu tanda-tanda krisis moneter sudah muncul, saya tak mau menjadi beban negara," katanya kepada brilio.net, Senin (28/9).

Selain itu, sistem pemerintahan di Indonesia berpeluang adanya korupsi tidak disukainya adalah alasan lain kenapa ia memilih keluar, bukan pensiun.

2. Mendirikan pesantren
Sebelum keluar dari UGM, ia telah banyak didatangi para doktor dan profesor yang ingin menimba ilmu darinya. Hingga pada 1992 ia mulai merintis pondok pesantren yang diberi nama Islam, Ilmu Teknologi dan Seni(Isitek). Pendirian pesantren ini terilhami aktivitasnya sejak remaja yang telah mengajar mengaji di kampung. Uniknya, santri pesantren tersebut adalah para doktor dan profesor yang menimba ilmu darinya.
 
Ia pun menerapkan syarat ketat, para doktor dan profesor yang ingin belajar darinya tak boleh berbuat maksiat dan melanggar ajaran agama.

6 Fakta menarik tentang Djaka Sasmita, Ibnu Sina dari Bantul Djaka Sasmita. Gurunya para doktor dan profesor.


3. Anaknya tak ada yang lulus SMA
Jika banyak para profesor yang meminta anaknya mengikuti jejak akademisnya, Djaka Sasmita malah sebaliknya. Ia menarik lima anaknya, Ida Saraswati, Dika Sistrandari, Sikla Estriningsih, Agus Siklawida, dan Ifa Siklawati dari dunia pendidikan formal. Anak tertua, Ifa, saat itu masih duduk di bangku SMA. Praktis, tak ada anaknya yang lulus SMA.

Djaka menganggap pendidikan yang ada hanya membuang-buang waktu karena tak efektif. Ia kemudian mendidik sendiri anaknya dengan berbagai bidang ilmu di Pesantren Isitek.

4. Bersama anak-anaknya, menemukan berbagai karya
Hasil didikannya pun bukan main. Enam bulan setelah keluar dari sekolah, Ida sudah bisa membuat alat pemeriksa gelombang otak atau EEG (Electro Encepalography). Anak-anak Djaka juga berhasil membuat biochip presensi nada yang lebih canggih dari presensi sidik jari. Tak hanya itu, putra putri Djaka telah menghasilkan banyak penemuan dan karya ilmiah.

Alat-alat temuannya antara lain pengetes gelombang otak, pengetes emosi diri, pengetes penyakit kanker getah bening, kanker hati, magnetic resonance imaging (MRI), alat pemeriksa saraf, otot, jantung, serta modem.

6 Fakta menarik tentang Djaka Sasmita, Ibnu Sina dari Bantul Tak sendiri. Djaka ajak anak-anaknya untuk rancang banyak penemuan. 

5. Pengobatannya sering dianggap pengobatan alternatif
Pengobatan Djaka Sasmita dengan terapi nuklir di Isitek sering dianggap pengobatan alternatif. Padahal pengobatan tersebut menggunakan berbagai teknologi ciptaannya. Untuk berobat ke tempat tersebut, pasien juga harus membawa rujukan dari dokter yang di alamatkan ke Isitek.

5. Guru bagi para doktor dan profesor
Pesantren Isitek yang diasuh Djaka Sasmita mensyaratkan santri minimal bergelar doktor ataupun profesor. Mereka datang dari berbagai institusi perguruan tinggi. Djaka menguasai berbagai bidang ilmu, seperti fisika, kimia, elektronika, hingga pertanian. Para santri yang datang pun tentu berasal dari berbagai bidang ilmu. Karena banyaknya bidang ilmu yang ia kuasai, maka tak heran jika ia dijuluki Ibnu Sina dari Bantul.

6. Hidup sederhana dan tak mengejar penghargaan
Djaka yang sederhana benar-benar menjauh dari gelimang dunia akademisi. Beberapa kali ia diminta untuk mengajar kembali di UGM maupun di universitas lain, tapi ia tolak. Ia lebih mementingkan waktunya bagi para santrinya. Ia juga bukan tipikal orang yang mengejar penghargaan. Meskipun santri-santrinya meraih penghargaan berkat temuan bimbingannya, ia tak tertarik.

"Saya pernah mau mendapat penghargaan dari Amerika, tapi saya tolak," terangnya.