Brilio.net - Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan masih menjadi perdebatan hangat di kalangan para musisi beberapa hari ini. Salah satu hal yang mereka kritisi berkaitan dengan kewajiban untuk memiliki sertifikat bermusik.

Sejumlah pasal dalam RUU tersebut memang mengatur penyelenggaraan musik dan pengembangan pelaku musik dengan cara mengikuti uji kompetensi. Musisi dan pegiat musik banyak yang menolak pasal tersebut karena merasa sertifikasi musik menjadi sebuah kewajiban, padahal, menurut mereka, sebenarnya pilihan.

Dilansir brilio.net dari antara pada Rabu (6/2), pengamat musik Wendi Putranto menilai sertifikasi musik merupakan hal yang bersifat opsional karena tidak semua hal dalam musik perlu dinilai. Dia menyoroti misalnya musik klasik, yang memang sejak lama memiliki penilaian dalam bentuk sertifikat karena memiliki aturan-aturan yang belum tentu ditemukan di aliran musik lain, seperti rock.

"Musik klasik memang perlu (sertifikasi), tapi tidak berarti jadi standardisasi," kata Wendi yang kini juga menjadi manajer Seringai.

Sama seperti Wendi, Glenn Fredly juga menganggap sertifikasi bermusik bukan sesuatu yang wajib karena bagi para musisi. Sebab ketika tampil bahkan hingga keluar negeri, profil mengenai karya musik mereka lebih dilirik, ketimbang status mereka sebagai musisi atau bukan.

Selain itu, Sandy, drummer PAS Band, meski pun tidak menyetujui banyak hal dari RUU Permusikan, dia bersikap mendukung masalah sertifikasi karena, meski pun bersifat opsional, mereka juga membutuhkan sertifikat tersebut.

"Kalau sewaktu-waktu ditanyakan, kita punya," kata Sandy.

Menurutnya sertifikasi musik bisa untuk 'jaga-jaga' ketika harus bermain di luar negeri. Sebab dia pernah mendengar pengalaman dari grup musik senior Bimbo yang gagal tampil di luar negeri karena tidak memiliki sertifikat musik. "Saya di posisi pro dan kontra untuk RUU Permusikan. Soal sertifikasi karena kebutuhan global, harus pro, kebaikan bersama juga," kata Sandy.

Meski demikian, jika sertifikasi musik diberlakukan di Indonesia, pemerintah juga harus paham betul soal parameternya. "Menurut saya sertifikasi bagus, tapi parameternya apa?" kata dia.

Karya yang mengedepankan nilai-nilai estetika, seperti musik dan lukisan, menurut Sandy sulit diukur karena setiap karya tidak hanya dibuat dengan pikiran, namun, juga hati.

"Misalnya, lebih bagus yang mana, lukisan Basuki Abdullah atau Affandi? Tidak bisa menilai seperti itu," kata dia.

Musisi pun memiliki beragam cara untuk belajar musik. Ada yang mendapatkannya melalui jalur formal seperti sekolah musik, tapi, banyak juga yang belajar secara autodidak. Ada musisi yang memahami not balok, namun, ada juga juga yang tidak bisa membaca not balok dan tetap bisa berkarya.

"Parameter uji kompetensi apa? Apakah harus bisa baca not balok? Apakah orang-orang yang bisa baca not balok lebih baik dari orang yang nggak bisa? Nggak juga," kata dia.

Pun jika ada paramater untuk disebut kompeten, Sandy masih menilainya sebagai wilayah abu-abu karena begitu banyak hal yang harus diperhatikan dalam bermusik.

Misalnya, apakah seorang yang dianggap kompeten harus bergabung dengan band, apakah kompetensi untuk orang yang pernah menciptakan lagu akan sama dengan orang yang hanya menyumbangkan judul.