Brilio.net - Fenomena hikikomori memang bukan kali ini muncul ke permukaan khalayak Negeri Matahari Terbit. Namun ternyata tetap menjadi salah satu masalah sosial dan kesehatan di negara tersebut. Setidaknya ada sekitar satu juta orang, sebagian besar pria, telah mengunci diri mereka di kamar tidur dan tidak keluar dari sana.

Dilansir brilio.net dari laman ABC News, Sabtu (25/7) para profesional kesehatan Jepang sepakat untuk berupaya menghentikan masalah ini. Sebab hikikomori mengancam kondisi keutuhan keluarga dan perekonomian negara.

Setidaknya, kasus yang baru-baru ini muncul adalah Yuto Onishi (18), yang hampir tiga tahun mengalami hikikomori. Dia selalu tidur pada siang hari dan melek pada malam hari. Waktunya dia habiskan untuk berselancar internet dan membaca manga (komik Jepang). Selain itu, dia menolak menjalin interaksi dengan teman-temannya, bahkan keluarganya. Dia hanya keluar pada tengah malam untuk makan, itu pun dengan cara menyelinap. "Aku tahu ini abnormal, tapi aku tak bisa mengubahnya. Itu (mengurung diri di kamar) membuatku merasa nyaman," terang pemuda itu.

Bila diusut ke belakang, Yuto gagal menjadi pemimpin kelas semasa SMP. Untuk mengatasi rasa malu dan penilaian orang lain, dia mengundurkan diri. Nah, dari sini memunculkan kesimpulan bahwa mereka yang mengalami hikikomori memiliki pengalaman mendapat tekanan dari keluarga dan masyarakat yang terlalu berat ditanggung.

"Dalam masyarakat Barat, jika tetap di dalam ruangan, mereka akan diberitahu untuk keluar. Tidak seperti di Jepang, anak akan dibiarkan bermain dan berhadapan dengan layar, bukan kehidupan nyata," ujar Takahiro Kato, seorang dokter ahli hikikomori di Jepang. Sehingga, bisa dikatakan pula hikikomori akibat dari pengaruh budaya dan pola asuh yang membuat seseorang secara emosional bergantung pada sosok ibu.

Untuk mengatasi hikikomori, bukan hanya fokus pada aspek psikologis, melainkan juga sosial dan biologis. Pemulihannya bisa memakan waktu lama bila gejala hikikomori juga semakin lama. Seperti pasien Takahiro yang berusia 23 tahun, dia sudah menjalani terapi selama satu tahun. Pasien ini mengatakan bahwa ibunya adalah sosok dominan dan suka menekannya untuk selalu sempurna di sekolah. Akhirnya, dia memilih mengurung diri di kamar.

Lebih lanjut, untuk pertama "menyentuh" mereka yang mengalami hikikomori adalah menggunakan cara membangun kembali komunikasi dan kepercayaan.

Takahiro mengatakan bahwa pemulihan akan berhasil bila pola interaksi keluarga berubah, sehingga keluarga memang wajib terlibat konseling. Untuk kasus Yuto, dia sudah mulai mau keluar kamar selama enam bukan belakangan, menggunakan teknik intervensi ini.

"Menghadapi trauma sendirian itu sangat sulit dilakukan. Tapi jika kamu melakukannya dengan orang lain, mereka dapat menunjukkan pandangan yang berbeda dari masa depan," terang Yuto.

Yuto sendiri memiliki impian ingin bepergian dan bekerja di luar negeri. Hal ini pula yang memotivasinya lepas dari hikikomori.

Para ahli berharap, mereka yang masih mengurung diri di kamar karena hikikomori, mengalami hal yang sama dengan Yuto.