Brilio.net - Kabupaten Bantul, Yogyakarta memang sangat luas untuk ditelusuri, dari ujung hingga ke ujung selalu ada tempat menyenangkan untuk dikunjungi. Salah satunya daerah Bangunjiwo, jika ditempuh dari pusat kota sekitaran Keraton Jogja, daerah ini bisa di jangkau selama 15 menit saja dengan kendaraan roda dua.

Ya, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul bukanlah daerah yang terkenal bak Kretek maupun Imogiri. Namun siapa yang sangka di daerah yang cukup panas untuk dijelajahi ini terdapat sebuah rumah seni, ialah Papermoon Puppet Theatre.

Hari itu, Rabu (21/3), brilio.net telah berjanji untuk bertandang ke studio Papermoon dengan orang yang paling berperan dalam papermoon, yaitu Maria Tri Sulistyani. Saat dikontak melalui aplikasi WhatsApp, Ria mengarahkan untuk mengikuti jalan sesuai dengan Google Maps, karena sejak lama keberadaan papermoon sudah ada di Maps.

Namun mengikuti arah dari petunjuk Google Maps bukanlah hal yang muda, sekitar tiga kali harus menemukan jalan buntu, berkali-kali nyasar dan harus bertemu kawasan perkuburan yang cukup luas dan tak ada jalan keluar.

Hingga hampir 10 menit lamanya mengitari area perkuburan tersebut, ada lima pria paru baya yang sedang bergegas menyelesaikan tugasnya menaiki barang-barang di truk, menyapa sambil tersenyum dengan nada yang sangat lembut "Nyari apa mba? Kelihatannya binggung lihat HP? Kalau mau ke tempat papermoon, saya tunjukkan."

Rasa senang tentu dirasakan mengingat daerah tersebut cukup minim aktivitas masyarakat, sehingga sedikit pula yang bisa ditanyakan.

Kembali bapak tertopi dan berkulit coklat tersebut menunjukkan "Ini kan ada jalan lurus, ikutin jalan saja mba. Nanti ketemu lapangan, ada plang kecil papermoon, ikuti arah saja," sambungnya.

Brilio.net kembali bergegas meninggalkan tempat dan mencari lapangan yang dimaksud, rupanya memang lapangan tersebut hanya sekitar 300 meter saja dari titik lokasi tersasar. Sesampainya di lapangan, ada plang kecil yang bertuliskan Papermoon Puppet Theatre sambil memberikan petunjuk.

Tak sampai dua menit brilio.net sampai di lokasi yang dicari, tersembunyi dari rumah-rumah warga, sepi, jalan pun juga masih banyak bolong. Banyak dedaunan yang gugur karena daerah tersebut memang tak terhitung jumlah pohon besarnya.

Rumah bertingkat dua asli tanpa balutan semen dan cat pada luarannya ini  nampak seorang pria berkaus dan bercelana pendek sedang asik mengutak atik ukiran kayu untuk membentuk sebuah kerangka.

Menyusuri lebih dalam, ada empat orang yang sama sibuknya menyelesaikan tugasnya menggambar hingga berdiskusi, salah satunya adalah Ria, yang bukan lain pendiri papermoon.

Ria Papermoon © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Setelah berjumpa dan menyambut dengan keramahtamahannya, wanita 36 tahun ini menceritakan bagaimana salah satu cita-citanya ini bisa terwujud kepada brilio.net.

"Aku bikin papermoon sejak 2006, aku suka seni rupa, aku suka seni pertunjukkan. Jadi ini kayak mix, dua disiplin medium yang memadukan seni rupa dan hasilnya teater boneka," kenangnya mengingat perjuangannya tersebut.

Wanita berambut pendek ini menceritakan bagaimana kecintaannya dengan seni dan keinginannya untuk menjadi seorang seniman. Saat di bangku sekolah rupanya Ria mengikuti sebuah kelompok teater Gardanalla awal tahun 2000-an dan menjadi aktrisnya.

Ia sangat menyukai semua proses yang terjadi di atas panggung, dan merasa pentas seni pertunjukkan seperti cinta pertamanya.

"Papermoon itu sebenarnya artinya bulan kertas. Artinya buat saya membuat hal yang istimewa dari hal yang sederhana," sambungnya.

Ria Papermoon © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Kesukaannya dalam mengambar dan seni rupanya membuat wanita alumni FISIOL UGM akhirnya mencoba untuk bereksperimen, dari mencoba memadukan satu seni dengan kesukaannya, akhirnya ia seperti menemukan medium teater boneka dan mencoba membuatnya.

"Material untuk boneka biasanya dari rotan, kertas, pralon, triplek, yang gampang di dapat deh," kata wanita berkulit hitam manis ini.

Medium seni teater sebenarnya dapat menceritakan banyak hal, namun sayangnya kadang kala masih banyak orang berfikir bahwa boneka identik dengan anak-anak, atau lucu-lucuan dari hiburan saja. Namun papermoon ingin menunjukkan bahwa bisa lebih itu.

Di usianya yang baru satu bulan setelah berdiri ternyata papermoon harus merasakan dampak Gempa Jogja pada tahun 2006 yang lalu. Namun keadaan ini malah memberikan mereka kesempatan dan tak pantang berhenti untuk menampilkan karya dihadapan orang lain.

"Nah sejak itu kita malah banyak pentas dimana-mana, di kampung-kampung melakukan projek pendampingan dan trauma healing (kegiatan membantu menyembuhkan)," sambung wanita kelahiran kelahiran 4 November 1981 ini.

Setahun kemudian, format papermoon pun berubah. Pementasan dibantu oleh voulenteer yang didominasi oleh mahasiswa. Biasanya bersama Iwan, yang bukan lain suaminya bersama teman-teman lainnya di undang by projek saja.

Ria Papermoon © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Mulanya papermoon berada di lokasi Ngadinegaran, formatnya pun masih seperti studio untuk anak-anak. Namun genap tahun 2008, Ria memutuskan untuk mengubah namanya menjadi papermoon puppet theatre. Dan akhirnya pada 2015 pindah ketempat yang sekarang yang suasananya lebih sunyi dan tenang untuk melakukan produksi.

Menjadi seni teater memang menjadi pengalaman yang berharga untuknya dan teman-teman lainnya. Terlebih sejauh ini ia pernah diberi kesempatan pentas hingga mancanegara ke Amerika pada tahun 2015 yang lalu dan berselang satu tahun kemudian mereka kembali pentas di UK.

"Durasi sekali tampil 45 menit sampai sejam. kalau persiapannya idealnya 6 bulan, makin kesini 3 bulan kira-kira," sambutnya sambil tertawa.

Untuk persiapan hingga pementasan sendiri memang butuh banyak tenaga. Menurutnya 6 bulan waktu yang cukup ideal untuk menghasilkan semuanya yang maksimal. Dan saat tampil di panggung sendiri biasanya yang bermain 2 hingga 15 orang yang terlibat, tergantung kesulitan dan jalan ceritanya.

Ria Papermoon © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Selain tampil di UK 2016 yang lalu, rupanya tahun tersebut juga tahun keberuntungan bagi mereka untuk bisa bekerja sama bergabung dalam film yang cukup fenomenal Ada Apa Dengan Cinta 2.

Rasa bahagia tak terbendung dirasakan Ria saat tahu orang yang ia gemari yaitu Riri Riza dan Mira Lesmana ingin bekerja sama dengannya.

Mulanya salah satu tim AADC yaitu Mendi dan Nico memang sudah mengetahui papermoon, bahkan Nico sudah menonton pementasan papermoon sebanyak dua kali, salah satunya karya Secangkir Kopi dari Playa.

Selain itu menurutnya Riri dan Mira sebelumnya memang sudah mengetahui seni teater papermoon, namun belum pernah secara langsung dapat menyaksikan pementasannya.

Kesempatan tersebut muncul ketika Ria dan papermoon mendapat undangan untuk hadir dalam launching film Pendekar Tongkat Emas di Jogja, disana rupanya Riri Riza dan Mira Lesmana menyapa dan berkeinginan untuk mengobrol lebih banyak.

Selang beberapa bulan saja, ternyata tim AADC Mendi menghubungi Ria mengatakan tertarik untuk memasukan papermoon ke AADC 2. Hal ini diperkuat ketika Riri dan Mira Lesmana kembali mendatangi Ria untuk menanyakan karya yang paling cocok untuk film tersebut.

"Karya yang paling available yang Secangkir Kopi dari Playa, dan mereka setuju," sambung perempuan yang pernah dinobatkan sebagai perempuan paling menginspirasi oleh majalah Her World Indonesia ini.

Ria Papermoon © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Setelah film AADC berakhir, banyak peningkatan yang terjadi papermoon. Meski dalam film tersebut durasi tampil hanya hitungan menit saja, nyatanya brand awareness masyarakat juga meningkat. Banyaknya orang yang lebih tahu dan penasaran membuat nama Papermoon Puppet Theatre lebih diingat masyarakat.

Ia mengenang saat dirinya pernah menginjakkan kaki di Tanah Toraja, ada seseorang yang menyapanya "Ria Papermoon kan?" Rupanya seseorang tersebut mengetahui dirinya sejak menonton romansa percintaan tersebut.

Selain itu banyaknya orang yang ingin datang mengunjungi studio papermoon juga menjadi PR tersendiri untuk Ria. Pasalnya sejak film tersebut berakhir, banyak orang yang datang untuk melihat atau sekedar berfoto-foto dengan boneka karyanya.

Ria Papermoon © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Layaknya seperti kantoran pada umumnya, studio papermoon sebenarnya tak terbuka untuk umum. Selama ini banyak orang yang salah kaprah menilai bisa mengunjungi studio papermoon kapanpun untuk menyaksikan pentasnya. Akibatnya film AADC sendiri memberikan keuntungan hingga pernah kerepotan sendiri.

Namun tak memungkiri memang jika AADC 2 memberikan banyak dampak baik untuk papermoon. Meski demikian ia tak cepat berpuas hati dan tetap membuat karya yang bagus dan berkualitas. Selan itu menjaga audiens juga menjadi kunci baginya untuk membangun awareness masyarakat dalam menikmati karyanya.

"Selesai pentas kita selalu mengundang audiens ke atas panggung untuk coba bonekanya, untuk lihat behind the scene. Menganggap audiens sebagai teman dan nggak berjarak dengan audiens," terangnya.

Ria Papermoon © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Selain itu dalam menghasilkan karya, Ria tentu melibatkan audiens, siapa, usia, dan karakter audiens yang akan menyaksikan pentasnya nanti. Sehingga papermoon bisa menampilkan suatu karya yang berhubungan dengan kehidupan para penontonnya tersebut.

"Misalnya kita bikin pertunjukkan tentang kehilangan karena meninggal, sasaran 7 tahun ke atas. kita publish ke sosmed kita siapapun yang kangen karena sudah kehilangan, kirim surat dong kita.

Jadi kita selalu melibatkan publik, jadi kayak langsung ingat bapakku di rumah, keluarga, jadi kayak mereka bisa merealisasikan dengan kehidupan mereka," tutupnya.